Selasa 23 Nov 2021 05:05 WIB

Tokoh Agama Jadi Benteng Kerukunan di Sulawesi Utara

Berbagai kearifan lokal menjadi pondasi kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara

Rep: Fuji E Permana/ Red: Esthi Maharani
Toleransi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Toleransi (ilustrasi)

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Sulawesi Utara (Sulut) sejak dulu telah menjadi tempat pertemuan orang dari berbagai suku bangsa, ras, agama, dan budaya. Dalam perjalanan panjangnya, masyarakat Sulut dari berbagai latar belakang telah memiliki pengalaman hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda latar belakangnya.

Pengalaman tersebut melahirkan berbagai kearifan lokal yang menjadi pondasi kerukunan umat beragama di sana. Di antaranya Mapalus adalah budaya kerjasama atau gotong royong di antara masyarakat yang berbeda-beda latar belakangnya. Selain itu, masyarakat Sulut juga melahirkan Badan Kerjasama Antarumat Beragama (Bksaua) puluhan tahun yang lalu.

Baca Juga

Bksaua dipimpin oleh tokoh-tokoh agama yang selalu siap meredam dan mendamaikan gejolak atau gesekan yang terjadi di tengah masyarakat. Peran tokoh-tokoh agama seperti benteng kerukunan yang selalu menjaga kerukunan antarumat beragama di Sulut.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulut, KH Abdul Wahab, mengatakan, masyarakat dan pemerintah telah membentuk Bksaua sejak tahun 1969. Bksaua ini didirikan masyarakat Sulut jauh sebelum Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) didirikan.

"Bksaua merupakan kearifan lokal di Sulawesi Utara yang dibentuk oleh tokoh agama dan direspon oleh pemerintah," kata Kiai Wahab kepada Republika, Sabtu (20/11).

Bksaua sampai sekarang masih ada dan keberadaannya dipertahankan oleh pemerintahan provinsi hingga sekarang. Beberapa tahun yang lalu baru dibentuk FKUB di Sulut. Namun Bksaua tetap berjalan sesuai peran, fungsi dan tanggung jawabnya.

Kiai Wahab menerangkan, meski berdiri masing-masing, Bksaua dan FKUB memiliki tujuan yang sama sehingga dalam praktiknya saling mendukung satu sama lain. Karena kehadiran Bksaua dan FKUB inilah kerukunan antar umat beragama di Sulut tetap dapat terjaga sampai sekarang.

"Walaupun memang ada riak-riak (gesekan antarumat beragama) tapi dapat diatasi dengan baik oleh dua badan ini (Bksaua dan FKUB)," ujarnya.

Kiai Wahab menceritakan, kalau ada konflik atau masalah di tengah masyarakat, Bksaua dan FKUB akan turun bersama pemerintah untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara terbaik agar kerukunan tetap terjaga. Artinya bukan berarti di Sulut tidak terjadi apa-apa, riak-riak gesekan di masyarakat ada.

Namun, tokoh-tokoh agama berkumpul dan berdiskusi untuk sesegera mungkin menyelesaikan masalah yang ada. Supaya masalah yang terjadi tidak meluas. Jadi tokoh-tokoh agama sejauh ini bisa mengatasi masalah-masalah yang timbul di tengah umat beragama dengan baik.

Kiai Wahab menjelaskan, Bksaua terdiri dari ketua lembaga atau majelis agama-agama yang ada. Setiap ketua lembaga agama mendapat giliran memimpin Bksaua selama satu tahun. Misalnya tahun ini Bksaua dipimpin tokoh Muslim, tahun selanjutnya dipimpin tokoh Protestan, kemudian Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu.  

"(Ketua lembaga atau tokoh) enam agama setiap tahun gantian menjadi ketua Bksaua setiap Januari," ujarnya.

Wilayah Sulut memiliki populasi sekitar 2,6 juta jiwa. Mayoritas penduduk di sana pemeluk Protestan, disusul oleh umat Islam yang jumlahnya sekitar 30 persen. Sebagian kecil masyarakat beragama Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement