Kamis 21 Apr 2022 05:43 WIB

Pajak dalam Peradaban Islam

Pajak sebagai sumber pendapatan negara di luar zakat sebenarnya sudah diterapkan

Pajak dalam Islam
Foto: Pajak.go.id
Pajak dalam Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sering muncul pertanyaan, adakah kewajiban umat Islam atas harta selain zakat? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.

Beberapa menyatakan ada, sedangkan lainnya berpendapat tidak ada. Yang berpendapat ada kewajiban selain zakat mencontohkannya dengan pajak.

Pendapat ini dikemukakan oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Hasan bin Ali, dan lainnya. Para tabiin yang mendukung pendapat ini adalah Sya'bi, Mujahid, Thawus, 'Atha, dan lainnya.

 

Pendapat ini dilandaskan kepada dalil Alquran surah Albaqarah [2]: 177 dan Al-An'am [6]: 141. Kedua ayat di atas merupakan dalil yang kuat mengenai adanya kewajiban atas harta selain zakat, yakni memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, fakir miskin, dan musafir.

''Dan, Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun, dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.'' (QS Al-An'aam [6]: 141).

Pendapat ini juga didukung oleh Abu Zahrah yang berpendapat bahwa mendermakan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, dan musafir, itu wajib hukumnya, selain zakat.

Adanya kewajiban itu, menurut mereka, karena mereka hidup dalam sebuah negara. Maka, mereka memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan negara itu. Misalnya, menanggulangi kemiskinan, menggaji tentara, pembangunan berbagai fasilitas umum, dan kebutuhan lain yang tidak terpenuhi dari zakat dan sedekah.

Karena itu, mereka mengusulkan adanya sumber alternatif baru sebagai penghasilan atau pendapatan negara. Dalam hal ini, ada dua pilihan alternatif, yakni pajak atau utang. Selama utang mengandung konsekuensi riba, pajak adalah pilihan yang lebih baik dan utama.

Abdurrahman Al-Maliki dalam As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla (Politik Ekonomi Islam) berpendapat, kewajiban negara adalah menjaga kemaslahatan umat melalui berbagai sarana-sarana, seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, menurutnya, jika kas negara tidak mencukupi, pajak itu menjadi wajib.

Namun, menurut Al-Maliki, hukum Islam mengharamkan negara menguasai harta benda rakyat dengan kekuasaannya. Jika negara mengambilnya dengan menggunakan kekuatan dan cara paksa, berarti merampas. Padahal, hukum merampas adalah haram.

Al-Marghinani dalam kitabnya al-Hidayah berpendapat bahwa jika sumber-sumber negara tidak mencukupi, negara harus menghimpun dana dari rakyat untuk memenuhi kepentingan umum. Jika manfaat itu memang dinikmati rakyat, kewajiban mereka membayar ongkosnya.

Pajak sebagai sumber pendapatan negara di luar zakat sebenarnya sudah diterapkan pada masa Rasulullah dan diteruskan pada masa Khalifaur Rasyidun, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan kekhalifahan Islam yang memerintah sesudahnya. Pajak sendiri memiliki banyak istilah: ada yang menyebutnya dengan jizyah, 'usyr, karraj, dan dharibah.

Sebagaimana di negara-negara modern saat ini, penerimaan negara dari hasil pungutan pajak pada awal perkembangan Islam hingga masa keemasan dialokasikan untuk membiayai seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di berbagai sektor kehidupan.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, misalnya, oleh sejumlah khalifah anggaran khusus ini dibelanjakan untuk mengembangkan dan memperluas tanah negara sebagai salah satu sumber penting bagi keuangan negara. Cara pengelolaan uang negara seperti ini memiliki dampak positif. Ini terlihat sepeninggal Khalifah al-Mansur dan Khalifah Harun ar-Rasyid, negara telah memiliki sumber keuangan yang lebih dari cukup.

Membayar pajak ini bukan hanya menjadi kewajiban umat Islam, tetapi juga kelompok non-Muslim. Membayar pajak dan membantu negara adalah kewajiban setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim.

orang-orang non-Muslim yang tinggal dalam wilayah kekuasaan Islam berkewajiban membayar pajak sebagai bentuk pengakuan bertempat tinggal bagi dirinya di negara itu. Dengan itu, mereka meminta jaminan perlindungan keamanan, ketertiban, menikmati fasilitas umum, dan lain sebagainya.

Kewajiban jizyah bagi kelompok non-Muslim bukan dilakukan berdasarkan keinginan untuk mendapatkan harta atau kekayaan semata. Akan tetapi, lebih dari itu, di dalam penetapannya terkandung manfaat bagi mereka yang diwajibkan membayar.

Dana pajak dipergunakan oleh negara untuk kemaslahatan umum (rakyat) dan bukan untuk pemungut pajak. Pemungut pajak akan diberikan upah (remunerasi) atas kerja mereka dalam mengumpulkan hasil pajak dari para wajib pajak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement