Ketika pecah kabar jamaah haji Indonesia yang terlantar di Mekah akan dikembalikan ke Tanah Air, kaum Muslim mengira mereka itu akan dipulangkan atas tanggungan pemerintah Hindia-Belanda. Persis seperti ketika pecah perang Tiongkok-Jepang, lekas-lekas dikirim kapal "Van Galeri" untuk menyelamatkan rakyat dan kepentingan Belanda di Cina. Oleh karena itu usaha pemulangan para jamaah tersebut mendapat sambutan hangat. Pemerintah Hindia-Belanda dipuji.
Akan tetapi, lain yang diduga, lain pula kenyataannya. Dari seorang jamaah yang pulang pada 24 April 1941 diperoleh keterangan bahwa tiap-tiap mukimin yang akan pulang ke Indonesia, yang tidak memakai tiket sendiri, oleh Wakil Konsul Belanda di Mekah, R. Abdoelkadir, disuruh menandatangani surat pengakuan berhutang. Yaitu hutang ongkos mereka di kapal dari Jeddah ke Tanjung Priok. Berapa jumlah hutangnya, tidak disebutkan.
Saat jamaah itu, H. Madjedi Affandi dari Banjarmasin, mengungkapkan persoalannys kepada Ketua Commite KMIM, Abdoelsamad meminta dengan sangat kepada Madjedi agar tidak menyebarluaskan kabar hutang yang tidak sedap itu. "Menurut timbangan saya," kata Abdoelsamad kepada Madjedi, "kalau diuar-uarkan, gunanya tidak ada, dan boleh jadi yang ada bahlanya saja. Saya berjanji akan mengurusnya akan hal itu ke hadapan Pemerintah Tinggi." Karena kesibukannya dengan urusan pemulangan jamaah, Abdoelsamad lupa kepada janjinya untuk membicarakan soal hutang jamaah itu dengan Pemerintah Hindia-Belanda.
Agaknya lantaran itulah Madjedi menyampaikan masalah yang dia hadapi kepada tokoh-tokoh MIAI: Abikoesno Tjokrosoejoso, Oemar Hoebeis, dan A. Rifai. Berdasarkan penuturan Madjedi, Bafagih menulis di koran Pemandangan, 24 September 1941. Bafagih meminta perhatian serius MIAI mengenai hal ini. Menurut Bafagih, kenyataan ini berbeda dengan surat pejabat Belanda urusan Islam, Dr. Pijper, kepada MIAI. Bafagih mendesak supaya hutang para jamaah diambil alih oleh MIAI. Tulisan Bafagih bergema.
Dari Medan, HAMKA dalam tulisannya meminta supaya semua sisa uang MIAI diserahkan kepada pemerintah untuk menutup hutang para mukimin. Selebihnya, "kami minta halal, dan bebaskanlah hutang mukimin-mukimin itu," tulis HAMKA. Usul HAMKA sejalan dengan niat Abdoelsamad yang hendak mengusahakan pembebasan hutang para mukimin, dan karenanya sejak awal Ketua Comite KMIM itu menolak mengekspos perkara ini ke media massa.
Suara yang lebih terang, datang dari M. Natsir. Menggunakan nama pena A. Moechlis, Natsir menulis di majalah Adil, Solo, yang dimuat ulang di Pandji Islam, Oktober 1941. Bagi Natsir, hutang para mukimin itu adalah "hutang kita. Hutang umat Islam secara keseluruhan."
Lebih lanjut Natsir berkata: "Kita tidak usah malu lantaran telah terpaksa membuat hutang. Yang amat memalukan ialah apabila kita mencoba-coba dengan meminta-minta supaya dibebaskan dari membayar hutang yang telah diperbuat. Kita kaum Muslimin kalau akan mengirimkan delegasi juga, kerja delegasi itu hendaknya sekadar meminta penjelasan berapa banyaknya hutang-hutang mukimin kita semuanya itu kepada Pemerintah Hindia-Belanda. Dan selanjutnya, bagaimana aturan-aturan kita membayarnya. Itu saja. Lain, tidak!"
Dalam pandangan Natsir, lebih baik hutang itu dicicil sampai lunas ketimbang umat Islam harus berhutang budi kepada Pemerintah Hindia-Belanda. "Masih untung kita lantaran hanya berhutang harta. Hutang emas boleh dibayar, tetapi hutang budi? Ya Rabbi, perlindungi hamba-Mu daripada berhutang budi. Hiduplah lotsverbondedheid!," tulis Natsir.
Persoalan hutang-hutang para mukimin sebesar 250 ribu gulden itu akhirnya memang dibebaskan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Comite KMIM yang kemudian mengubah namanya menjadi Comite Kesengsaraan Pendoedoek Indonesia diberi modal sebesar 22 ribu gulden oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Pekerjaan memulangkan jamaah haji dan para mukimin yang terlantar di Makkah pun selesai. Akan tetapi ada yang menarik untuk dicatat dari peristiwa lebih 75 tahun yang lalu itu. Yakni betapa seorang pemimpin sejati selalu memperlihatkan kualitas kepemimpinannya dalam situasi apapun. Terlebih-lebih pada situasi kritis.
Natsir dalam usia baru 33 tahun, telah memperlihatkan kualitas kepemimpinannya. Di tengah kecenderungan sikap kompromi atas nama "kepentingan umat", Natsir memperlihatkan wataknya yang sejati: teguh menjaga kehormatan umat Islam.
"Kita wajib menjaga kehormatan kita, sebagai umat Muhammad, yang mengagamakan Islam. Al Islamu ya'lu wa la yu'la 'alaihi," pesan Natsir lebih 75 tahun silam.