Senin 01 Apr 2019 11:06 WIB

PATUHI Ungkap Perjalanan Panjang Legalkan Haji Furada

Haji Furada selama ini dianggap ilegal dan tak miliki payung hukum.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Harian Permusyawaratan Antar Syarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (Patuhi), Artha Hanif
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ketua Harian Permusyawaratan Antar Syarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (Patuhi), Artha Hanif

IHRAM.CO.ID, JAKARTA— Pemerintah dan DPR resmi melegalkan haji furada. Legalitas haji furada (haji kuota Saudi di luar kuota resmi) diatur Undang-undang Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) Pasal 16 sampai Pasal 17. 

Ketua Harian Permusyawaratan Antar Syarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI), Artha Hanif, mengatakan PATUHI sudah lama memperjuangkan agar haji furada dilegalkan pemerintah. 

"Setelah sejak beberapa tahun lalu kami mohon kebijakan pemerintah untuk membolehkan visa haji nonkuota resmi," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (1/4). 

Artha menuturkan argumentasi visa haji nonkuota atau yang dikenal furada itu mesti dilegalkan sebagai salah satu opsi dan solusi bagi masyarakat mengatasi  antrean panjang jamaah haji reguler dan khusus. 

 

"Alhamdulillah melalui inisiatif DPR RI dan perhatian Kemenag RI, akhirnya RUU haji dan umrah menggantikan UU Haji Nomor 13 Tahun 2008 telah resmi diterima oleh rapat paripurna DPR RI pada 28 Maret 2019," ujarnya.

Artha menceritakan, bagaimana pada tahun lalu tim PATUHI berjuang memberikan argumentasi kepada pemerintah dan dewan jika furada bisa menjadi opsi mengurangi daftar tunggu panjang penyelenggaraan haji reguler dan khusus.   

Akan tetapi pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) dan DPR melalui Komisi VIII kurang antusias tentang penjelasan tim PATUHI tentang haji furada.   

"Kami masih teringat bagaimana saat undangan rapat dengar pendapat undang-undang (RDPU) kepada PATUHI tanggal 27 Nov 2018 sebagian anggota dewan dan pejabat Kemenag RI masih alergi dengan visa haji furada," katanya. 

PATUHI ketika itu, kata Artha, terus berusaha maksimal meyakinkan anggota dewan bahwa opsi furada adalah hak asasi manusi (HAM) dan penyelenggaraannya mesti melalui penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) supaya mudah bagi pemerintah untuk melakukan kontrol. 

Artha menyarankan, dengan resminya UU haji dan umrah yang baru maka perlu ada penyesuaian peraturan-peratura  haji dan umrah di bawahnya. Peraturan di bawahnya itu bisa melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) atau Surat Keputusa Direktur Jendral Penyelenggaraan Haji dan Umrah  (SK Dirjen). "Supaya match dengan UU haji dan umrah yang baru," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement