Rabu 24 Apr 2019 19:07 WIB

Mengapa Anggaran Kuota Haji Tambahan Perlu dari APBN?

Syamsul menilai kondisi keuangan BPKH kini tak sanggup bila biayai kuota tambahan

Rep: Mabruroh/ Red: Hasanul Rizqa
Komisioner KPHI Syamsul Maarif
Foto: dok. kemenag.go.id
Komisioner KPHI Syamsul Maarif

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Arab Saudi telah memberi kuota tambahan kepada Indonesia sebanyak 10 ribu jamaah haji. Terkait itu, Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) menilai penambahan kuota tersebut patut diapresiasi.

Bagaimanapun, komisioner KPHI Syamsul Ma'arif menyebut tidak mungkin biaya untuk 10 ribu jemaah itu diambil dari anggaran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Sebab, lanjut dia, dana optimalisasi sudah habis untuk membantu pemberangkatan jamaah haji reguler tahun ini. Artinya, BPKH sudah tidak sanggup lagi bila sampai diharuskan mengeluarkan dana lagi demi membiayai kuota tambahan tersebut.

Baca Juga

“Sekarang ini posisinya uang optimalisasi itu sudah digunakan habis oleh penyelenggara. Maka, pendapat saya jika ini mau dilakukan oleh pemerintah, saya memberikan masukan agar biaya tambahan diambil dari APBN sepenuhnya. Jangan mengambil uang jamaah (yang belum berangkat),” kata Syamsul Ma'arif dalam sambungan telepon, Rabu (24/4).

Sebagai informasi, sambung dia, para calon jemaah haji reguler yang hendak berangkat pada tahun ini dibebankan sebesar Rp 35,2 juta. Padahal, secara keekonomian, seharusnya tiap mereka menyetor uang hingga Rp 70 juta untuk memenuhi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Artinya, talangan untuk mereka berasal dari dana optimalisasi untuk memenuhi selisih biaya.

“Kalau ditambah lagi dipaksakan 10 ribu kuota tambahan itu, ini dari mana mau diambilkan (uang) untuk menambahi? Yang sekarang saja sudah habis. Itu saja menggunakan optimalisasi sebagian milik mereka yang belum berangkat,” papar Syamsul.

Dia mengandaikan bila dipaksakan juga dana dari BPKH dipakai untuk memberangkatkan 10 ribu jemaah hasil dari penambahan kuota. Bila sampai demikian, maka BPKH terpaksa memakai dana setoran awal milik calon jemaah haji yang belum berangkat ke Tanah Suci. Syamsul memandang, cara tersebut berpeluang memunculkan keraguan (syubhat) secara syariat.

"Menggunakan sebagian dana milik orang lain yang belum berangkat, ini  menjadi hajinya subhat kalau mereka tahu. Dan itu menurut saya sebuah kezaliman, menggerus modal setoran awal jamaah yang belum berangkat,” jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement