Jumat 14 Jun 2019 12:23 WIB

Waspadai Gejala Hipoksia di Penerbangan Haji

Lemas, menguap, mulai mengantuk, mudah lelah sebagian tanda hipoksia.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Indira Rezkisari
Jamaah calon haji yang tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 1 asal Kabupaten Tegal antre memasuki pesawat di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (17/7) dini hari.
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Jamaah calon haji yang tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 1 asal Kabupaten Tegal antre memasuki pesawat di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (17/7) dini hari.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Hipoksia atau kekurangan oksigen pada jaringan tubuh, merupakan risiko yang dapat terjadi dalam penerbangan. Setiap penumpang bisa mengalami hipoksia, baik itu ringan, sedang maupun berat. Hipoksia berat dapat menyebabkan kematian. Seseorang dapat saja terpapar hipoksia walaupun sebelumnya dalam keadaan sehat.

"Risiko tinggi di penerbangan itu adalah hipoksia, yaitu kurangnya oksigen di dalam jaringan tubuh," kata dokter penerbangan Dr Itah Sri Utami, Sp.KP saat ditemui Republika setelah menyampaikan materi dalam seminar Pelayanan Kesehatan Penerbangan Haji, di Pusat Kesehatan Haji Kemenkes, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Itah mengatakan, risiko hipoksia bisa terjadi pada semua penumpang pesawat, meskipun tidak ada keluhan sebelumnya. Semua bisa mengalami hipoksia, baik ringan, sedang ataupun berat.  

"Faktornya karena adanya berbedaan lingkungan darat dan udara yang dapat menimbulkan risiko terjadi masalah-masalah kesehatan dalam penerbangan. Salah satunya hipoksia," katanya.

Ketinggian diatas 10 ribu kaki di atas permukaan laut merupakan area non-fisiologis. Artinya manusia normal tidak dapat hidup di area ini tanpa bantuan oksigen dan alat bantu lainnya. Karenanya itu semua pesawat komersial yang diterbangkan mengondisikan kabin bertekanan khusus atau pressured cabin dengan lingkungan yang sama seperti  pada ketinggian 5 ribu–8 ribu kaki.

"Pada ketinggian di atas 10 ribu kaki itu tekanan oksigen sudah berbeda dengan tekanan oksigen di daratan," katanya.

Itah melanjutkan tidak ada tanda-tanda yang khas seseorang atau penumpang mengalami hipoksia. Atau prediksi seseorang akan pasti mengalami hipoksia sulit dilakukan. Namun ada beberapa kriteria yang dapat dinilai oleh dokter penerbangan.

Itah mencontohkan, orang yang mengalami hipoksia itu ketika ada seseorang mendaki gunung tinggi, lalu dia mengalami rasa kantuk dan lemas. Kondisi perubahan ketinggian tersebut bisa jadi penyebabnya adalah hipoksia. Keadaan ini bisa dilihat dengan menggunakan pulse oximetry, dapat terjadi penurunan saturasi atau penurunan persentasi ikatan haemoglobin darah  pada oksigen dalam jaringan.  

"Dengan nilai saturasi itu,  kita dapat melihat seseorang itu terjadi hipoksia atau tidak," katanya.

Itah menerangkan, normalnya ketika kita di darat seseorang yang sehat itu saturasinya sekitar 99 persen. Pada orang yang terjadi hipoksia di darat dengan oksigen 20 persen yang ada di atmosfer, ketika di bawah 95 persen itu sudah bisa dikatakan hipoksia.

"Terdapat tanda-tanda lemas, menguap,  mulai mengantuk dan  mudah lelah merupakan sebagian tanda-tanda dari hipoksia. Hal tersebut terjadi karena perfusi atau penyerapan oksigen dalam jaringan berkurang," katanya.

Jadi kata dia, ketika ada penumpang atau jamaah haji sudah terlihat ada tanda-tanda klinis hipoksia, saat fase kritis penerbangan yaitu antara take off dan landing di mana saturasi pada orang normal akan turun 10 persen, maka seseorang atau jamaah haji itu pertama harus tenang dan bernapas normal seperti biasa.

"Jadi tidak langsung dikasih oksigen. Kalau memang yang bersangkutan tidak ada gejala seperti pusing, pucat, pingsan atau tanda klinis mengancam jiwa itu saya pikir tidak perlu meminta bantuan apapun," katanya.

Ketika pesawat sudah berada di ketinggian normal yang tidak berubah-berubah atau level, biasanya orang yang terkena hipoksia ringan sudah bisa beradaptasi dan kembali meningkatkan saturasi oksigen jaringan di dalam tubuhnya.

"Karena kabin sudah dibentuk sedemikian rupa menyamakan dengan ketinggian sekitar 5 ribu sampai 8 ribu kaki itu," katanya.

Berbeda kalau penumpang yang mengalami hipoksia itu sudah memiliki penyakit bawaan seperti penyakit paru. Maka adaptasinya akan lama ketika pesawat sudah berada di atas ketinggian rata-rata. Seseorang dengan masalah paru di lingkungan  daratan sudah  mengalami gangguan perfusi oksigen. Apalagi di lingkuang penerbangan fase kritis adalah pada saat take off dan landing.

Mengantisipasi hal tersebut, Itah menyarankan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama ketika kontrak dengan maskapai untuk pengadaan oksigen khusus (POC) bagi penumpang yang berisiko terhadap kesehatan di penerbangan.

Karena selama ini kata Itah, oksigen di dalam pesawat khusus untuk kru kabin pesawat. Tidak untuk penumpang yang mengalami hipoksia. Karena oxygen compartement yang ada di atas kursi penumpang hanya akan keluar bila terjadi perubahan tekanan secara mendadak. Itah menambahkan diperlukan dokter penerbangan untuk menentukan laik terbang calon jamaah Haji.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement