Kamis 11 Jul 2019 22:34 WIB

Sapuhi: Legalisasi Haji Furada Hadirkan Kepastian Hukum

Legalisasi haji furada membantu kondusivitas perhajian.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Petugas imigrasi memeriksa kelengkapan dokumen paspor haji calon jamaah haji di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta (ilustrasi)
Foto: Republika/Yasin Habibi
Petugas imigrasi memeriksa kelengkapan dokumen paspor haji calon jamaah haji di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta (ilustrasi)

IHRAM.CO.ID,  JAKARTA— Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) menyatakan legalisasi haji furada mendatangkan kepastian bagi pelaku usaha di bidang perhaji. 

"Dengan demikian tidak ada lagi ilegal terhadap bisnis haji dengan visa furada," kata Syam saat berbincang dengan Republika.co.id, melalui sambungan telepon, Kamis (11/7).

Baca Juga

Ketua Umum Sapuhi, Syam Resfiadi, mengatakan Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan hanya penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) yang boleh memberangkatkan jamaah haji khusus dan furoda  

Syam yang juga Direktur Utama PT Mekar Jaya ini menyampaikan, berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah hanya perusahaan PIHK yang boleh memberangkatkan. “Bukan oleh yang lain seperti PPIU maupun individu atau BPW tidak boleh berangkatkan haji khusus dan haji furada," katanya.  

 

Syam mengatakan, PIHK yang memberangkatkan haji furada itu harus melaporkannya kepada Menteri Agama. Hal tersebut berdasarkan perintah UU 8/2019 Pasal 18 ayat 3 yang menerangkan PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi wajib melapor kepada Menteri. 

Syam memastikan, bagi PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai sanksi administratif.   

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau d. pencabutan izin.  

"Kemudian ayat (3) menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan 1 diatur dengan Peraturan Menteri," katanya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement