Rabu 11 Sep 2019 12:13 WIB

Cerita Himpuh Protes Biaya Visa, Apa Respons Utusan Saudi?

Protes Himpuh atas biaya visa tak akan mengganti kebijakan Saudi.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Umum Himpuh, Ahmad Baluki
Foto: Maman Sudiaman/Republika
Ketua Umum Himpuh, Ahmad Baluki

IHRAM.CO.ID, JAKARTA—Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) telah melakukan pertemuan dengan konsultan Kerajaan Saudi yang datang ke Indonesia. Dalam pertemuan itu Himpuh telah menyampaikan keberatan atas keputusan Kerajaan Arab Saudi yang telah menetapkan harga visa umrah sebesar 300 riyal Saudi.

“Kami mempertanyakan negara Anda secara pemerintahan telah membebaskan kami dari beban progresif. Kami mengaku senang, tetapi tiba-tiba di balik itu ada yang baru lagi yang sifatnya lebih berat sesungguhnya,” kata Ketua Umum Himpuh, Baluki Ahmad, kepada utusan Kerajaan Saudi, sebagaimana dituturkan ke Republika.co.id, Rabu (11/9).

Baca Juga

Baluki menyampaikan bahwa pertemuannya dengan pihak kerajaan itu dilakukan pada Senin (9/9) malam. Dalam pertemuan itu, Himpuh telah meminta penjelasan kepada utusan Kerajaan Saudi yang datang ke Indonesia dalam rangka sosialisasi kebijakan kerajaan yang baru. 

Para utusan ini, kata dia, didatangkan ke Indonesia untuk mensosialisasikan program Kerajaan pada 2030 bahwa jamaah umrah harus mencapai 30 juta. “Mereka sebuah tim yang datang ke beberapa negara untuk melihat respons apa, ada kesulitan apa bahkan dia merespons, karena mereka mengawal untuk 2030 menjadi 30 juta jamaah.”

Baluki mengaku kepada utusan Kerajaan itu bahwa calon jamaah umrah Indonesia senang dengan dihapuskannya visa progresif. Namun, jamaah umrah juga tidak senang dengan adanya kebijakan kerajaan yang menetapkan harga visa sebesar 300 riyal yang sebelumnya visa itu gratis.

Baluki menuturkan, setelah Himpuh menyampaikan rasa keberatan, para utusan Kerajaan itu menyampaikan bahwa kebijakan penetapan harga visa 300 riyal itu merupakan kewenangan Raja Salman. Dan kebijakan itu merupakan hasil pertimbangan dari penasihat kerajaan untuk mengeluarkan kebijakan baru dalam rangka meningkatkan kunjungan jamaah umrah sebesar 30 juta di tahun 2030 tercapai.

“Respons mereka ini kami sudah mempertimbangkan dengan nilai visa segitu daripada menetapkan visa 500 riyal. Saya langsung menohok mohon maaf ya. Saya bilang yang saya hormati pihak Kerajaan kami tidak melihat lagi tafsir visa majjanan atau bahwa visa itu gratis,” katanya.

Baluki mengatakan, setelah menyampaikan keberatan dan para utusan tetap mempertahankan kebijakan raja. Akhirnya seakan seperti terpaksa, kata Baluki, tahun ini kerajaan ingin mengambil keuntungan dari penyelenggaraan ibadah umrah. Sehingga kerajaan tidak lagi menggratiskan visa umrah. “Itulah ketentuan negara kami yang sudah dianggap menjadi bagian daripada income negara,” kata utusan Saudi, sebagaimana ditirukan Baluki.

Terkait hal tersebut, Baluki mengaku menyesalkan, ibadah umrah menjadi lahan bisnis Kerajaan Saudi. Meski Makkah dan Madinah merupakan wilayah kekuasaan kerajaan, akan tetapi pada hakikatnya Makkah dan Madinah merupakan rumah ibadah umat Islam bersama yang tidak boleh Kerajaan Saudi menarik keuntungan dari umrah terlalu agresif.  

"Karunia Allah, Saudi yang mendapatkan karena Ka’bah ada di sana. Sehingga harus menjadi pertimbangan khusus. Kecuali komponen lain, tapi kalau komponen visa sebesar itu terlalu besar Pemerintah Saudi untuk menentukan," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement