Jumat 01 May 2020 01:24 WIB

Pencabutan Hukum Cambuk Saudi; Reaktif atau Progresifkah?

Pencabutan hukum cambuk di Saudi itu tak bisa dilepaskan dari reformasi duo Salman

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah*)

Reformasi yang dilakukan duet Raja Salaman bin Abdul Aziz dan Sang Putra Mahkota Muhammad bin Salman terhadap Arab Saudi selalu penuh dengan kejutan. Paket-paket kebijakan keduanya mendobrak wajah ultra-konservatif yang selama ini melekat di negara dengan sistem monarki itu.

Sebut saja, ada serangkaian perombakan kebijakan progresif Saudi, setidaknya dalam tiga tahun terakhir seperti diperbolehkannya perempuan bekerja di ruang publik, bolehnya perempuan bepergian tanpa mahram, izin perempuan mengemudi, pencabutan pemisahan perempuan-pria di restoran, dan dibukanya sektor wisata Madain Saleh di Al Ula, Provinsi Madinah,  yang selama ini masih menjadi perdebatan tak berujung di kalangan Dewan Ulama Senior Saudi.

Kebijakan duo Salman mengakhiri polemik tersebut. Di lokasi terakhir ini, sebelum pandemi Covid-19, Dinas Pariwisata setempat secara rutin menggelar festival musik. Kebijakan inklusif ini diikuti dengan paket kebijakan lain berupa diperbolehkannya turis asing memasuki wilayah Saudi, selain Makkah-Madinah, dengan visa wisata.  Belum lagi dengan peluncuran ‘kota ‘hiburan Qiddiya, dekat Riyadh dengan fasilitas taman hiburan kelas atas. Saudi juga berambisi dengan proyek multi-miliar dolar untuk mengubah 50 pulau dan situs murni lainnya di Laut Merah, menjadi resor mewah pada 2017 lalu.

Prinsip reformasi yang sama hendak ditunjukkan duo Salman di bidang hukum agar sejalan Visi Saudi 2030. Maka tak cukup mengagetkan ketika pada Jumat lalu (24/4), Pengadilan Tinggi Kerajaan mengakhiri pencambukan sebagai salah satu opsi hukuman. Keputusan itu merupakan perpanjangan dari reformasi hak asasi manusia yang diperkenalkan di bawah arahan Raja dan Sang Putra Mahkota. Hukuman cambuk digantikan hukuman penjara atau denda, atau gabungan keduanya.

Meski mendapat apresiasi dari pegiat HAM baik dari luar dan dalam Saudi, tetapi penganuliran hukuman cambuk tersebut tak luput dari kritikan. Selain disebut sebagai keputusan telat, pencambutan hukuman cambuk ini dianggap kebijakan yang reaktif, setelah Saudi lagi-lagi mendapat sorotan tajam terkait meninggalnya aktivis pro demokrasi dan HAM, Abdullah Al Hamid, di penjara tepat di hari yang sama. Abdullah Al Hamid meninggal Jumat pagi, lalu waktu siangnya beredar surat pencabutan hukuman cambuk itu. Pendiri Saudi Civil and Political Rights Association itu setidaknya telah tujuh kali ditangkap otoritas Saudi dengan tuduhan tak jelas, sama dengan nasib para pegiat HAM dan demokrasi lainnya. Terakhir, alumni Universitas Al Azhar Mesir itu menjalani hukuman sejak 2013 lalu untuk vonis penjara selama 11 tahun di usia yang tak lagi muda yaitu 70 tahun.

Abdullah Al Hamid dinyatakan meninggal setelah kesehatannya terus memburuk di dalam penjara, dan dinyatakan meninggal dunia karena serangan stroke. Tak ada keterangan resmi dari pihak Saudi hingga jenazah almarhum dimakamkan di kampung halamannya, Baridah, Saudi. Spekulasi bermunculan termasuk siasat kekerasan berupa penderaan yang dialami almarhum selama di penjara, hingga akhirnya meninggal di hari yang sama keluarnya keputusan Pengadilan Tinggi Kerajaan Saudi terkait hukum dera itu. Apakah ada keterkaitan langsung? Tak ada yang bisa memastikan.

Kepada Sharq Al Awsat, pakar hukum sekaligus pengacara di Saudi, Dr Muhammad Al Jadzlani, menjelaskan ada dua peruntukkan hukum dera di Saudi yang pertama berkenaan dengan perintah syariat, seperti hukum dera untuk pezina yang statusnya masih lajang (ghair al-muhshan). Jenis ini tak mungkin diubah otoritas Saudi karena ini berkaitan dengan perintah syariat.

Sedangkan yang kedua hukum dera sebagai sanksi atas pelanggaran tertentu, dan ini yang tidak tersentuh syariat. Kategori ini pula yang beberapa dekade ini tak henti-hentinya mendapat kritik, terutama terkait dengan standar yang digunakan untuk menentukan jumlah deraan.

Lantaran tak dijelaskan syariat, seorang hakim bisa saja menjatuhkan hukuman deraan 100 kali, bisa lebih dan mungkin juga kurang. Kasus hukuman cambuk paling terkenal dalam beberapa tahun terakhir menimpa blogger Saudi Raif Badawi yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan 1.000 cambukan pada tahun 2014 atas tuduhan "menghina" Islam. Hukuman tersebut telah lama menuai kecaman dari kelompok hak asasi manusia.

Amnesti Internasional mencatat rekor 184 orang tewas tahun lalu akibat pemberlakuan hukuman yang keras di Arab Saudi. "Semakin meningkatnya penggunaan hukuman mati di Arab Saudi, termasuk sebagai senjata melawan pembangkang politik, adalah perkembangan yang mengkhawatirkan," kata ata Adam Coogle, Wakil Direktur Divisi Timur Tengah dan Afrika Utara Human Rights Watch (HRW). 

Namun dalam pandangan Jadzlani, Saudi tetap akan menerampkan hukum deraan yang berkaitan langsung dengan hukum syariat separti had untuk pelaku zina. Saudi menurut dia, mempunyai standard HAM internal yang selektif terhadap isu-isu HAM, tak semua lantas oleh Saudi diratifikasi begitu saja. Jadi sebaiknya membaca pencabutan hukum cambuk di Saudi itu tak bisa dilepaskan dari reformasi duo Salman dalam semangat Visi Saudi 2030 dan menampilkan wajah negara petro dolar sebagai negara maju, terbuka, toleran, dan moderat atau hanya kebijakan reaktif karena kritikan dunia luar terkait pemberlakuan sanksi hukuman dera yang kelewat batas? Publik dunia hanya bisa menerka-nerka, tak lebih.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement