Rabu 03 Jun 2020 05:55 WIB

Doa Ayah Mudahkan Hidayah Islam Sapa Sahabat Said bin Zaid

Ayahanda Said bin Zaid mendoakan anaknya itu agar dapat menerima hidayah Islam.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan / Red: Nashih Nashrullah
Ayahanda Said bin Zaid mendoakan anaknya itu agar dapat menerima hidayah Islam. Ilustrasi Sahabat Nabi
Foto: MgIt03
Ayahanda Said bin Zaid mendoakan anaknya itu agar dapat menerima hidayah Islam. Ilustrasi Sahabat Nabi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Membahas keimanan Sa’id bin Zaid tak bisa dilepaskan dari cerita hidup sang ayah, Zaid bin Amru Naufal Al-Adawy. Pasalnya, sebelum Nabi Muhammad mendapat wahyu pertamanya, Zaid merupakan orang yang anti kafir Quraisy karena berhala yang disembah kaum tersebut.

Mengutip buku Sirah 60 Sahabat Nabi Muhammad karangan Ummu Ayesha, Zaid juga menolak kebiasaan masyarakat Makkah saat itu yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Menganggap itu perbuatan tercela, Zaid kerap kali menyelamatkan bayi tersebut, bahkan jika perlu, membelinya dan membesarkan anak tersebut.

Baca Juga

Singkat cerita, suatu hari ketika ada perayaan di Makkah, setiap orang memakai pakaian dan perhiasan terbaik demi menyambut perayaan itu. Hewan-hewan dikorbankan demi berhala. Zaid yang tak menyukainya hanya menyingkir ke sisi dinding Ka’bah sambil mengutuk perbuatan itu.

“Wahai kaum Quraisy, Allah menciptakan hewan itu, dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan itu bisa minum sepuasnya. Dia juga yang menumbuhkan rerumputan agar hewan itu bisa makan. Lalu sekarang kalian menyembelih hewan itu demi berhala. Sungguh itu sesat, sungguh bodoh,” gumamnya sedih.

 

Kata-kata dari Zaid itu terdengar oleh Khattab, ayah dari Umar bin Khatab, yang menyambut dengan berkata “Berhentilah Zaid, sudah sering kami dengar celaanmu itu. Kami selama ini biarkan, Kini kesabaran kami sudah habis!” ujarnya sambil menghasut musyrik lainnya memusuhi Zaid.

Tak berhenti dimusuhi, bahkan, gerak Zaid diintai dan mendapat ancaman sehingga dia memutuskan menyingkir ke Gua Hira, dan menemui keluarganya dengan sembunyi-sembunyi.

Dalam persembunyiannya, dia mencari agama yang diridhai Allah, namun belum menemukan. Terlebih ketika ajaran Ibrahim yang melenceng jauh telah mendarah di kaumnya.

Hingga ketika dia berkelana, bertemulah dengan seorang rahib. Mendengar bahwa agama yang dicarinya hampir tak ada, Zaid putus asa. Hingga akhirnya, sang rahib berkata kembali, “Kembalilah ke Makkah. Kelak Allah akan membangkitkan Nabi dari bangsamu. Dia datang untuk menyempurnakan agama Ibrahim.” 

Mendengar itu, Zaid langsung kembali ke Makah. Namun sayang, di tengah jalan dia dihadang perampok. Menjelang ajal, Zaid yang terluka berdoa, “Ya Allah, jika engkau haramkan aku dari agama yang lurus ini, janganlah engkau haramkan anakku Sa’id dari agama ini.”

Doa Zaid terkabul. Anaknya, Sa’id bin Zaid ketika berusia 20 tahun langsung menerima kebenaran Nabi Muhammad SAW bersama istri Sa’id, Fathimah binti Khattab tanpa keraguan. 

Perjuangan Sa’id dalam menyebarkan Islam, bukan tanpa halangan. Dia dikecam masyarakat, bahkan, tak jarang yang memaksanya kembali ke kaumnya.

Alih-alih kembali, Sa’id justru semakin mantap meneguhkan hatinya, bahkan, Umar bin Khattab yang awalnya berniat marah, justru bisa mendengar lantunan Al-quran dan menerima Islam sebagai panutannya melalui Sa’id.

Dalam berbagai cerita, Sa’id membuktikan keimanannya dengan mengikuti hijrah ke Habasyah maupun ke Madinah. Bahkan, dia juga mengikuti semua perang bersama Rasulullah SAW, kecuali perang Badar, karena dia mendapat tugas pengintaian kafilah dagang Quraisy di Laut Merah Bersama Thalhah bin Ubaidillah. 

Tak hanya itu, Sa’id juga terus menunjukkan keimanan dan perjuangan Islam nya dengan mengikuti berbagai perang setelah Nabi Muhammad wafat. Salah satunya, perang Yarmuk pada zaman Khalifah Umar bin Khattab.  

Berbagai pencapaian demi Muslim dia torehkan, termasuk, ketika Islam menguasai Kota Damsyik, dan ketika dia diminta menjadi wali kota tersebut. Hingga akhirnya dia kembali ke Madinah pada masa tuanya. 

Dalam buku Ensiklopedia Sahabat karangan Ibnu Al Jauzi, sekembalinya ke Madinah, Sa’id sempat mendapat fitnah. Diceritakan dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Arwa binti uwais pernah mengadukan Sa’id kepada Marwan (Gubernur Madinah saat itu), Arwa berkata, “Said telah mencuri tanahku, sehingga dia memasukkan tanah tersebut ke tanahnya.” Mendengar pengakuan itu, Sa’id berkata, “Mana mungkin aku menzaliminya, padahal aku telah mendengar Rasulullah bersabda, “Siapa yang mengambil tanah orang lain walau sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi di lehernya.”

Tak elak Sa’id berdoa kepada Allah, ”Jika itu fitnah, maka Allah akan menjadikannya buta dan jatuh ke dalam sumur.”. Tak berselang lama, banjir menimpa Madinah, hingga batas tanah yang tertutup kembali terbuka, sehingga tuduhan pada Sa’id terbukti tak benar. Berselang waktu, Arwa binti Uwais buta dan seperti doa Sa’id, ia jatuh ke sumur.  

Di masa tuanya, Sa’id menghabiskan waktu di Madinah hingga kembalinya ia ke pangkuan ilahi saat berusia 73 tahun. Bersama sahabat-sahabat lainnya, Sa’id dimakamkan di pemakaman Baqi.  

Dalam berbagai cerita lainnya, banyak yang meriwayatkan bahwa Sa’id adalah penghuni surga bersama assabiqunal awwalun. Hal itu tak jauh, karena semua perjuangannya dan iman yang teguh terhadap Allah SWT dan Islam.  

Dari Abdurrahman bin Al Akhnas, dia berkata: Sa’id bin Zaid berkata, “Aku bersaksi bahwa aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Rasulullah berada dalam surga, Abu Bakar berada di dalam surga, Umar berada di dalam surga, Ali berada dalam surga, Utsman berada dalam surga, Abdurrahman berada dalam surga, Thalhah berada dalam surga, Zubair berada dalam surga, dan Sa’ad berada dalam surga’. Kemudian ia berkata, “Jika kalian mau, maka aku akan memberitahukan orang kesepuluh (yang berada di dalam surga).” Lalu Sa’id bin Zaid menyebutkan namanya sendiri. (HR Imam Ahmad).

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement