Rabu 23 Sep 2020 20:43 WIB

Alibi ‘Wajarlah Beliau Nabi, Kita Manusia Biasa’, Benarkah?

Banyak orang yang beralibi wajar Muhammad SAW mulia karena beliau Nabi.

Banyak orang yang beralibi wajar Muhammad SAW mulia karena beliau Nabi. Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)
Foto: smileyandwest.ning.com
Banyak orang yang beralibi wajar Muhammad SAW mulia karena beliau Nabi. Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA

 

Baca Juga

Tak jarang kalimat seperti ini muncul ketika disampaikan amal atau sifat Rasulullah SAW. Kalau diucapkan dalam konteks pengakuan bahwa Rasulullah SAW diberikan kekhususan dan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada manusia biasa, tentu dapat diterima.

Tapi seringnya ini diucapkan sebagai alasan atau justifikasi ketidakmampuan atau mungkin ketidakmauan untuk mencontoh sifat-sifat Rasulullah SAW. 

 

Boleh jadi kalimat tersebut lahir dari persepsi seperti ini : “Saya hanya manusia biasa… Sementara beliau adalah manusia pilihan, kekasih Allah… Jadi wajar saja kalau beliau memiliki sifat-sifat mulia seperti itu. Sementara saya…?”  

Mungkin ini yang disebut dengan ‘ngeles’. Mengapa ketidakmampuan mencontoh pribadi mulia Rasulullah SAW itu tidak diungkapkan secara jujur, misalnya dengan mengatakan, “Beliau adalah teladan mulia, tapi saya belum mampu untuk melakukannya, meskipun saya akan tetap berusaha untuk itu…”  

Bukankah Rasulullah SAW diutus Allah untuk menjadi teladan (uswah) bagi kita? Apakah mungkin ia dijadikan uswah kalau ia tidak bisa dicontoh? Berapa kali Allah SWT menegaskan dalam Alquran bahwa Rasulullah SAW adalah manusia biasa: قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ  “Katakankah (wahai Muhammad) sesungguhnya aku adalah manusia sepertimu, yang diberikan wahyu…” (QS Al-Kahfi: 110).   

Seorang cendekiawan beragama Budha pernah melontarkan sebuah pertanyaan, “Mengapa agama Budha tidak tersebar luas sebagaimana halnya agama Islam? Padahal agama Budha juga mengajarkan kasih sayang, toleransi dan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang tak kalah hebatnya dibanding agama Islam.”

Lalu ia menjawab sendiri pertanyaannya, “Karena Islam memiliki sosok dan figur yang bisa dicontoh, sehingga ajaran-ajarannya bukan sesuatu yang bersifat utopia dan khayalan belaka. Ajaran-ajarannya sangat realistis, dan itu telah dibuktikan sosok pembawanya; Muhammad SAW.” 

Memang, banyak sisi yang menjadi kekhususan bagi Rasulullah SAW. Itu benar. Bahkan menyebut nama beliau pun tidak boleh hanya dengan kata ‘Muhammad’ saja, seperti memanggil orang kebanyakan. Tapi ini tidak berarti bahwa beliau sulit apalagi tidak mungkin dicontoh. Karena, sekali lagi, sifat dan berbagai sisi kehidupan beliau –kecuali yang bersifat khususiyah- adalah untuk dicontoh.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ  “Sungguh dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagimu…”  (QS Al-Ahzab: 21)   

Mental ‘ngeles’ seperti ini tidak hanya dalam konteks meneladani Rasulullah SAW. Hal serupa terjadi dalam banyak sisi kehidupan kita: 

  • “Wajar saja ia berhasil, orang tuanya kaya dan relasinya banyak…” 
  • “Wajar saja ia pandai, IQ-nya di atas rata-rata…”
  • “Wajar saja ia terkenal, retorikanya hebat dan timnya solid…”

Sekali lagi, sebagai sebuah bentuk pengakuan tentu ungkapan-ungkapan seperti ini wajar. Tapi kalau ingin ‘ngeles’ atau justifikasi kelemahan diri, maka ungkapan seperti ini hanya mencerminkan jiwa yang kerdil dan pribadi yang rapuh.   

Abu al-Walid al-Baji sering terlibat dalam berbagai debat dan munazharah dengan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Keduanya adalah ulama yang tak diragukan kedalaman ilmu dan kekuatan analisanya. Kita tidak akan membahas siapa yang unggul dalam berbagai perdebatan itu. Tapi yang menarik adalah apa yang disampaikan kedua alim ini tentang apa yang dinilai sebagai ‘keberuntungan’ kawan debatnya.  

Abu al-Walid al-Baji mengatakan bahwa ia terlahir dari keluarga yang miskin. Untuk bisa menelaah kitab saja ia mesti menumpang di lampu jalanan karena tidak punya minyak untuk menghidupkan lampu di rumahnya. Sementara Ibnu Hazm adalah anak orang kaya. Ayahnya mantan menteri. Sehingga ia tidak akan mengeluhkan kekurangan kitab apalagi kekurangan minyak untuk menyalakan lampu dalam membaca kitab. 

Seolah-olah al-Baji ingin mengatakan, wajar kalau ilmu Ibnu Hazm lebih luas. Toh, ia lahir dari keluarga berpunya dan tak pernah menderita seperti halnya dirinya.  

Tapi Ibnu Hazm membalas, justru ‘keberuntungan’ itu ada pada al-Baji. Menurut Ibnu Hazm, justru kemiskinanlah yang biasanya dapat mendorong dan memotivasi seseorang untuk mencari ilmu dan menjadi alim yang dikenal. 

Orang kaya, biasanya lengah dan lalai oleh hartanya. Ia sudah mendapatkan kemuliaan duniawi, sehingga ia tak merasa perlu mengejar kemuliaan ukhrawi. Jadi, sebenarnya keberuntungan itu ada pada Abu al-Walid al-Baji, bukan pada dirinya anak orang kaya.   

Tidak baik mencari justifikasi (pembenaran) atas kelemahan diri. Namun menyadari kelemahan diri itu mesti, sebagai langkah awal untuk memperbaiki guna mencapai tingkat tertinggi dalam segala lini.  Di antara syair yang saya sukai adalah syair al-Mutanabbi : 

إذا غامرت فى شرف مروم فلا تقنع بما دون النجوم # فطعم الموت فى أمر حقير كطعم الموت فى أمر عظيم

 

*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement