Kamis 01 Oct 2020 12:58 WIB

Sejarawan: Masyarakat Sudah Cerdas Nilai Film G30S/PKI

Sejarawan menilai masyarakat sudah cerdas dalam menilai film G30S/PKI.

Film G30 S PKI (ilustrasi)
Foto: Youtube
Film G30 S PKI (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Sri Margana berpendapat tidak ada yang perlu dipermasalahkan dari pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI. Menurutnya, masyarakat sudah cerdas dalam menilai film tersebut.

"Masyarakat saat ini sudah cerdas. Sudah banyak beredar fakta-fakta baru terkait perstiwa G30S/PKI, sehingga orang-orang bisa membuat penilaian mana yang benar dan mana yang tidak dari film itu," kata Margana, Rabu (30/9).

Baca Juga

Margana justru menyarankan masyarakat untuk kembali menonton film G30S/PKI. Terlebih, bagi masyarakat seperti kalangan milenial yang sama sekali belum pernah melihat film yang kerap dikritik mengandung propaganda tersebut.

Sebab, kata Margana, dengan menonton film tersebut orang-orang bisa belajar apa yang mengakibatkan lahirnya pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Karenanya, ia justru menyarankan yang belum menonton untuk menontonnya.

"Saya sarankan yang belum pernah menonton supaya menonton sebagai pengetahuan, menambah referensi cara berpikir sebelum bersikap," ujarnya.

Selain itu, ia menilai, pemerintah seharusnya tidak perlu mengeluarkan suatu larangan bagi masyarakat untuk menonton film tersebut. Namun, pemerintah juga diharapkan tidak menjadikan film itu sebagai suatu tontonan wajib masyarakat.

"Kalau sampai diwajibkan maupun dilarang menonton itu tidak benar," ucap Margana.

Dosen Departemen Sejarah FIB UGM ini menerangkan, penayangan film ini sempat dihentikan sejak reformasi 1998. Ada kajian-kajian yang dasari penghentian, salah satunya film besutan sutradara Arifin C. Noer itu disebut cacat fakta.

Misal, soal kisah penyiksaan di luar batas kemanusiaan ke jenderal-jenderal di Lubang Buaya. Mengingat adanya unsur kekerasan dalam film ini, Margana merasa perlu ada langkah sensor karena berpeluang dilihat anak-anak.

"Sebaiknya yang ada unsur kekerasan tidak perlu ditayangkan," ujar Margana.

Margana menambahkan, menjadikan peristiwa yang terjadi pada 1965 itu sebagai memori kolektif bangsa merupakan hal baik agar tragedi serupa tidak terulang. Namun, ia meminta masyarakat tidak mewariskan dendam masa lalu ke generasi mendatang.

"Yang mengerikan itu hendak diwariskan kepada semuanya yang tidak berkaitan dengan masalah itu. Jadi, jangan wariskan dendam," kata Margana. 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement