Selasa 20 Oct 2020 13:18 WIB

Solusi Polemik Masker Scuba

Scuba yang masih memiliki permeabilitas udara tinggi perlu perbaikan permeabilitasnya

Febrianti Nurul Hidayah
Foto: dokpri
Febrianti Nurul Hidayah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Febrianti Nurul Hidayah*

Tidak dapat dimungkiri, kehadiran virus yang biasa disebut dengan Covid-19 ini telah berimbas ke sektor ekonomi terutama para pelaku usaha seperti UMKM. Namun, kesempatan ini juga diambil UMKM untuk beralih kepada produksi alat kesehatan, terkhusus alat pelindung diri (APD) berupa masker untuk tetap berpenghasilan selama pandemi.

Dengan masa peralihan terkini, atau yang populer disebut kenormalan baru (new normal), penggunaan masker akan tetap menjadi kewajiban protokol kesehatan selama beraktivitas di luar rumah yang artinya produksi masker akan tetap menjadi kebutuhan.

Dengan begitu menjamurnya penjualan masker, tak ayal bahwa masker non-medis dengan harga yang relatif ekonomis kerap mendapatkan kritik di antaranya adalah mengenai kenyamanan pengguna. Selain itu, dari segi kesehatan pun, masker non-medis buatan UMKM daerah belum teruji laboratorium, bagaimana efektivitasnya menghalau droplet untuk keluar masuk.

Tetapi beberapa waktu terakhir, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan standar untuk masker kainnya itu SNI- 8914:2020, yang berdampak pada pelarangan masker jenis scuba. Beberapa alasan dari pelarangan ini menurut BSN (2020) adalah bahan hanya satu lapis dan tipis, sifat bahan yang merenggang sehingga droplet dapat terpecah dan berisiko menembus masker sehingga dinilai tingkat efektivitasnya hanya 0-5 persen.

Hal ini tentunya membuat produsen, distributor, hingga konsumen pengguna masker scuba kalang kabut. Hingga saat ini, sudah banyak beredar berita bahwa pembelian masker scuba jauh menurun dan di sisi lain juga, unit-unit pemerintah sudah banyak yang 'terlanjur' memesan ribuan masker jenis ini kepada UMKM di daerah.

Material masker scuba 

Masker dengan sebutan scuba ini terbuat dari kain scuba yang mana nama ini disematkan pada serat jenis polikloroprena dengan nama dagang Neoprene yang berasal dari industri serat tekstil terkemuka di Amerika Serikat bernama DuPont. Disebut scuba karena serat jenis ini banyak digunakan untuk perleng kapan kegiatan menyelam atau scuba.

Padahal jenis serat ini juga diaplikasikan untuk pakaian renang, gaun, hingga penutup jok mobil. Kain scuba memiliki sifat zero water permeability, yang artinya air tidak dapat menembus kain. Tetapi ia tidak zero air permability artinya udara masih bisa menembus pori kain karena konstruksi rajutnya sehingga pemakai masih nyaman dalam menggunakan masker jenis ini.

Mengapa dahulu masih boleh dipakai sebagai salah satu masker andalan untuk Covid-19? Karena saat awal pandemi, masih di pahami penyebaran virus ini melalui droplet (cairan). Namun dalam perkembangannya, diyakini penyebaran virus itu juga melalui airborne (udara).

Maka dari itu, scuba yang masih memiliki permeabilitas udara tinggi (tembus udara), pemakaiannya menjadi larangan sehingga perlu perbaikan dalam permeabilitasnya. Selain mengenai asal bahan, salah satu persepsi yang keliru di kalangan umum adalah mengenai masker scuba yang hanya satu lapis.

Padahal dari segi konstruksi, masker scuba yang beredar di pasaran merupakan kain rajut dengan jeratan jenis interlock atau double rib yang artinya rajutan ini memiliki karakteristik struktur yang seimbang (tepian kain tidak keriting), kurang merenggang ke arah lebar dan panjang, serta terdiri dari dua lapis kain.

Kesimpulannya, secara teknis masker scuba memang kain rangkap atau sudah terdiri dari dua lapis kain. Silakan coba amati masker scuba yang Anda miliki, kemudian dilihat dari sisi penampang atas, maka akan tampak dua lapisan kain. Jika pelarangan juga karena bahannya yang tipis, maka bandingkan dengan masker medis yang tiga lapis.

Masker medis ini jauh lebih tipis dibandingkan masker scuba. Maka hemat penulis, penilaian pelarangan masker bukan dari jumlah lapisan dan ketebalannya, melainkan kemampuan filtrasinya yang hal ini hanya bisa dilakukan melalui uji laboratorium.

Ada beberapa saran bagi yang sudah terlanjur memproduksi, menjual, ataupun membeli masker scuba. Namun yang terutama bagi produsen, hendaknya masker scuba yang telah diproduksi diuji lab dahulu sehingga tahu seberapa besar filtrasi kainnya. Bisa saja supplier mengklaim bahan scuba, tapi kualitas bahan maupun filtrasinya berbeda. Jika dirasa filtrasi tidak memenuhi standar, maka ada beberapa saran yang bisa dilakukan.

Pertama, yang dinilai paling cepat dan ekonomis untuk produsen adalah dengan memberi perlakuan spray coating atau pelapisan semprot pada permukaan bahan masker scuba sehingga pori kain dapat tertutup. Tapi perlu diingat, bahwa penggunaan coating ini ada batas efektivitas pemakaian dan tahan pencucian. Paling tidak 4-5 kali cuci sabun lunak, keefektifan lapisan ini akan menurun.

Kedua, baik bagi produsen maupun konsumen, bisa menambahkan lapisan kain pada bagian dalam masker scuba. Kain dapat berupa kain tenun maupun nonwoven, dapat dijahit bersamaan dengan masker ini atau hanya diselipkan saja.

Ketiga, untuk konsumen yang telah terlanjur mengoleksi masker scuba, maka solusi yang mudah adalah dengan melapisi bagian dalam masker ini dengan tisu satu lembar yang dilipat menjadi dua bagian. Walaupun mudah, tapi penggunaan tisu sesering mungkin untuk diganti karena sifatnya yang menyerap air sehingga mudah basah jika kita berbicara maupun berkeringat di area sekitar masker.

 

*Dosen Program Studi Rekayasa Tekstil Universitas Islam Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement