Jumat 18 Dec 2020 15:36 WIB

CIPS: Akses Pangan di Indonesia Sering Luput dari Perhatian

Isu keterjangkauan pangan masih sering luput dari perhatian.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Center for Indonesia Policy Studies, menilai, Indonesia belum mencapai ketahanan pangan. Aspek keterjangkauan pangan bagi masyarakat dinilai kerap luput dari perhatian pemerintah.
Foto: Oky Lukmansyah/ANTARA
Center for Indonesia Policy Studies, menilai, Indonesia belum mencapai ketahanan pangan. Aspek keterjangkauan pangan bagi masyarakat dinilai kerap luput dari perhatian pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesia Policy Studies, menilai, Indonesia belum mencapai ketahanan pangan. Aspek keterjangkauan pangan bagi masyarakat dinilai kerap luput dari perhatian pemerintah.

Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Amanta mengatakan, menurut Food and Agriculture Organization (FAO), ada empat dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, penggunaan dan stabilitas.

Konsep tersebut juga digunakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan yang mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

"Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan bukan hanya sebatas soal ketersediaan, namun juga soal kualitas dan keterjangkauan," kata Felippa dalam siaran pers diterima Republika.co.id, Jumat (18/12).

Ia mengatakan, berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan bukan hanya sebatas soal ketersediaan, namun juga soal kualitas dan keterjangkauan. Tingkat ketahanan pangan dinilai masih rendah meskipun Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (Indeks Ketahanan Pangan Global) 2019 dari The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di posisi 62 dari 113 negara.

Jika diselidiki lebih dalam pada tiap indikator, Indonesia berada di posisi 48 untuk indikator ketersediaan, namun berada di posisi 58 untuk indikator keterjangkauan. Posisi Indonesia dalam indeks dan beberapa indikator menunjukkan masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional terutama dari segi keterjangkauan.

Felippa menambahkan, isu keterjangkauan masih sering luput dari perhatian saat publik membicarakan soal pangan. Kementerian Pertanian sering membanggakan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) industri pertanian yang meningkat rata-rata 3,7 persen per tahun antara 2014-2018.

Berdasarkan data BPS 2014-2019, jumlah PDB untuk sektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian mencapai Rp 880,4 triliun pada tahun 2014. Jumlah itu terus meningkat pada 2015 hingga 2018 dengan rincian sebesar Rp 906,8 triliun pada 2015, Rp 936,4 triliun pada 2016, Rp 969,8 triliun pada 2017 dan mencapai Rp 1.005,4 triliun pada tahun 2018.

“Statistik ini sering dijadikan bukti meningkatnya ketersediaan pangan dan perkembangan menuju kedaulatan pangan. Tapi di sisi lain, masyarakat masih menghadapi harga pangan fluktuatif dan hal ini sangat berdampak bagi mereka yang berpenghasilan rendah," ujarnya.

Berdasarkan data dari Buletin Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian 2019, pengeluaran untuk bahan makanan terus meningkat sebesar 10 persen sejak 2016 hingga 2018. Hal ini dapat diatribusikan ke dua faktor, yaitu peningkatan konsumsi masyarakat dan peningkatan harga.

Adapun, penelitian CIPS menunjukkan, berdasarkan data harga BPS dan World Bank, harga beras di Indonesia telah meningkat 26 persen sejak 2014 hingga sekarang. Padahal peningkatan harga di pasar internasional hanya mencapai 12 persen.

"Walaupun tersedia, rupanya pangan di Indonesia masih kurang beragam, tidak merata dan tidak terjangkau," katanya.

Laporan terbaru dari World Bank (Indonesia Economic Prospects, December 2020: Towards a Secure and Fast Recovery) juga menunjukkan bahwa harga pangan di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di Asia. World Bank pun menyebut, tantangan utama sektor ini bagi Indonesia adalah membuat harga pangan semakin terjangkau serta meningkatkan nilai gizi pangan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Felippa mengatakan, tingginya harga pangan Indonesia sangat merugikan masyarakat, terutama bagi masyarakat miskin. Sebab, mereka bisa menghabiskan 50-70 persen dari pengeluarannya hanya untuk membeli makanan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk makanan membuat masyarakat sangat rentan terhadap lonjakan harga komoditas pangan sehingga memengaruhi pola konsumsi.

Berdasarkan hasil penelitian CIPS, kenaikan harga beras sebesar Rp. 1.000 dapat mengurangi konsumsi beras sebesar 0,67 kg. Hal ini menyebabkan risiko tidak terpenuhinya Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan sebesar rata-rata 2.150 kilo kalori.

Tidak tercukupinya nilai AKG yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75 tahun 2013 ini dikhawatirkan berkontribusi terhadap tingginya risiko malnutrisi dan stunting di Indonesia.

"Risiko malnutrisi dan stunting dapat semakin meningkat di masa pandemi karena semakin banyak orang yang penghasilannya terdampak pandemi, menurunnya produksi pertanian dalam negeri dan kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh banyak negara untuk mendahulukan stok di dalam negerinya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement