Ahad 10 Jan 2021 10:35 WIB

Cara Mengecek Validitas Informasi Sepeninggal Rasulullah SAW

Muncul ilmu yang secara khusus meneliti para pembawa atau periwayat hadis

Rep: Imas Damayanti/ Red: A.Syalaby Ichsan
Mengenal Kitab Hadis Sunan Nasa
Foto: wikipedia
Mengenal Kitab Hadis Sunan Nasa

REPUBLIKA.CO.ID, Sepanjang hidup Nabi Muhammad SAW, tentunya banyak sekali perkataan, sikap, hingga penegasan beliau yang disaksikan para sahabat dan masyarakat di zamannya. Kabar yang mengatasnamakan Nabi tentunya masih cukup mudah dikroscek di masa Nabi hidup, lantas bagaimana di masa sepeninggal Nabi?

Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Mantan Imam Besar Masjid Istiqlal yang juga Pendiri dan Pengasuh Darus Sunnah International Institute for Hadith and Sciences, Alm KH Ali Mustafa Yaqub, memberikan pendapatnya mengenai perbedaan mengkroscek hadis di masa Nabi dengan di masa sesudahnya.

Beliau menjabarkan, salah satu pengecekan berita yang bersumber dari Nabi adalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khattab. Suatu malam ketika Sayyidina Umar sedang memikirkan kemungkinan pasukan Kerajaan Ghassan akan menyerbu umat Islam di Madinah, tiba-tiba ada seorang tetangganya mengetuk pintu dan memanggil namanya dengan lantang.

Orang itu kemudian menyampaikan sebuah berita yang membuat Sayyidina Umar terkejut dan merasa keheranan. Tetangganya itu memberitakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menceraikan istri-istrinya.

Keterkejutan Sayyidina Umar  bukan dilandasi karena salah seorang istri Nabi adalah putrinya sendiri, yakni Hafshah. Melainkan keterkejutan beliau karena merasa ada yang janggal atas kabar yang didengarnya itu. Mungkinkah Nabi melakukan itu? Menceraikan seluruh istrinya?

Untuk meyakinkan kebenaran berita itu, Sayyidina Umar mendatangi Nabi untuk menanyakan langsung kebenaran kabar yang ia dengar. Lalu kemudian,  dugaan kebohongan kabar yang didengarnya itu  akhirnya diamini Nabi. Yakni bahwasannya, Nabi Muhammad SAW tak sedikit pun berminat untuk menceraikan istri-istrinya.

Dari peristiwa itu dijelaskan, hal yang dilakukan Sayyidina Umar memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita yang bersumber dari Nabi dapat dengan mudah dilakukan cek dan ricek secara langsung. Alasannya tentu pada saat itu, Nabi Muhammad SAW masih hidup.

Berbeda halnya dengan masa sepeninggal Nabi Muhammad. Dengan makin jauhnya umat Islam dari masa Nabi Muhammad SAW,  muncul ilmu yang secara khusus meneliti para pembawa atau periwayat hadis. Terlebih sesudah terjadi fitnah (perpecahan dalam tubuh umat Islam menyusul wafatnya Sayyidina Usman bin Affan pada 36 Hijriyah).

Umat Islam kala itu apabila mendengar sebuah hadis akan selalu menanyakan dari siapakah hadis itu diperoleh. Apabila hadis itu diperoleh dari orang-orang bid’ah,maka hadis itu dengan tegas ditolak. Namun sebaliknya, apabila hadis itu diterima dari orang-orang ahlusunnah, maka hadis itu akan diterima sebagai hujjah dalam agama Islam.

Maka semakin jelas bahwa penelitian mengenai adalah al-rawi (kredibilitas pembawa berita) justru muncul belakangan setelah penelitian tentang otensititas matan (materi) hadis yang dibicarakan.

Sebab jika merujuk pada masa hidupnya Nabi, penelitian matan ini bahkan sudah ada sejak beliau masih hidup. Dalam perjalanannya, ilmu hadis terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan agar suatu kabar yang mengatasnamakan Nabi dapat dikroscek validitasnya.

Ilmu yang semula disampaikan dengan bantuan medium lisan ini kemudian mulai ditulis dan dibukukan. Hanya saja di masa awal, bentuknya belum ditulis secara utuh, melainkan masih bercampur dengan pembahasan disiplin ilmu lainnya. Kemudian di masa selanjutnya, masing-masing cabang ilmu telah terpisah dari cabang-cabang ilmu lainnya. Para ahli hadis kemudian muncul dengan pembaharuan dan penyempurnaan ilmu hadis untuk ‘mewariskan’ khazanah Islam yang baik tentang otensititas sebuah hadis yang dapat ‘dinikmati’ umat Islam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement