Jumat 15 Jan 2021 06:45 WIB

Refleksi Atas Rekonsiliasi Teluk dan Krisis Palestina

Berharap rekonsiliasi Teluk tak untungkan Zionis dan tidak korbankan Palestina.

 Dalam foto yang disediakan oleh Pengadilan Kerajaan Saudi ini, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, kanan, menyambut Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani pada saat kedatangannya untuk menghadiri KTT ke-41 Dewan Kerjasama Teluk di Al-Ula, Arab Saudi, Selasa , 5 Januari 2021.
Foto: Saudi Royal Court via AP
Dalam foto yang disediakan oleh Pengadilan Kerajaan Saudi ini, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, kanan, menyambut Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani pada saat kedatangannya untuk menghadiri KTT ke-41 Dewan Kerjasama Teluk di Al-Ula, Arab Saudi, Selasa , 5 Januari 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Lili Nur Aulia; Sekretaris Institut Indonesia 

Kurang lebih satu pekan sudah dunia Islam menghirup napas lega setelah "KTT Al-Ula" yang diselenggarakan di Arab Saudi menyaksikan runtuhnya tabir krisis Teluk. Krisis yang telah memasuki tahun keempat, menyusul perbedaan politik antara Mesir, UEA, Arab Saudi, dan Bahrain di satu sisi, dan Qatar di sisi lain. Keempat negara akhirnya sepakat memulihkan hubungan dengan Qatar, termasuk masalah penerbangan.

Hari-hari setelah rekonsiliasi itu, ucapan selamat dan dukungan terus mengalir menghiasi beragam pemberitaan media. Bagi Qatar, rekonsiliasi ini menjadi titik kebangkitan ekonomi yang sempat melemah pasca pemboikotan selama kurang lebih empat tahun. Begitu pun bagi negara-negara koalisi. Mereka mengakui posisi Qatar yang memiliki sumber pendapatan strategis, terletak di kawasan vital secara geopolitik dan memainkan peran ekonomi yang penting di kawasan.

Pada saat yang sama, Qatar terletak di kawasan yang bergejolak antara dua negara, Arab Saudi dan Iran. Amerika jelas memainkan peran penting dalam proses rekonsiliasi Teluk ini untuk memenuhi beragam kepentingan, termasuk melestarikan dan memperluas kekuasaan entitas Zionis di Palestina dan guna menghadapi Iran.

 

Banyak berkembang analisis di balik rekonsiliasi Teluk ini. Antara lain kemungkinan negara koalisi Saudi berharap cemas Qatar tumbang dan meminta pencabutan blokade agar negaranya tidak lumpuh. Jika ini terjadi, maka Qatar akan terpaksa meminta pihak negara koalisi Saudi untuk memenuhi tuntutan. Tetapi, keinginan itu ternyata tidak mulus lantaran Qatar berkoordinasi dengan Iran dan Turki hingga mampu bertahan dari blokade selama beberapa tahun.

Bagi Palestina, informasi menggembirakan ini sebenarnya lebih terasa. Berbagai gerakan perlawanan Zionis di Palestina, termasuk Hamas di Gaza, pun menyambut dengan penuh optimisme rekonsiliasi Teluk. Meski mereka menunggu perkembangan situasi dan kebijakan untuk menilai pada akhirnya apa yang akan dihasilkan dari rekonsiliasi itu.

Pertanyaan besar terkait yang muncul adalah bagaimana masalah Palestina dan Iran pasca rekonsiliasi ini. Apakah rekonsiliasi ini akan berkontribusi pada pemberian dukungan kepada Palestina atau justru sebaliknya? Manakah dari dua pihak yang akan dipertimbangkan: skala Arab Saudi yang mengklasifikasi perlawanan Palestina dan Lebanon sebagai terorisme atau skala Qatar yang siap mendukung perlawanan Palestina?

Akankah negara-negara Teluk akan membenamkan diri dalam konflik berdarah dengan Iran atau akankah mereka mempertahankan diri untuk tetap menghindarkan diri dari terlibat dalam perang yang diprediksi akan menghancurkan semua pihak?

Qatar sudah lama mengulurkan tangan membantu Paletina hingga ke Jalur Gaza. Semua orang memahami bahwa bantuan ini tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan dari entitas Zionis Israel. Ini berarti ada kontak antara Qatar dan entitas Zionis yang terus berlanjut sejak Qatar membuka kantor perdagangan Zionis di Doha. Dan karena adanya kontak-kontak ini, muncul analisis berikutnya, adakah kemungkinan Qatar akan memenuhi permintaan Saudi dan AS untuk memberlakukan normalisasi dengan Zionis sebagaimana Emirates dan Bahrain? Dengan kata lain, melalui rekonsiliasi yang dimainkan Amerika, dorongan kuat terhadap Qatar untuk melakukan normalisasi dengan entitas Zionis, tampaknya sudah memiliki dasar untuk dimulai.

Terkait dengan perlawanan Palestina di Gaza, dan khususnya Hamas, mereka akan dihadapkan pada dua opsi: apakah menolak normalisasi Qatar jika itu terjadi dan menentangnya, dan dengan demikian kehilangan sumber keuangan penting Qatar untuk Gaza? Atau opsi kedua, menerimanya secara tidak resmi.

Diketahui, AS menekan berbagai negara Arab untuk perang terhadap terorisme. Negara-negara koalisi harus memenuhi kehendak propaganda Amerika yang anti terhadap organisasi perlawanan Palestina dan terus menciptakan perselisihan di berbagai titik di wilayah negara-negara Arab. Apakah kelak negara-negara koalisi Arab akan melibatkan Qatar dalam perang antara kubu AS-Zionis-Arab melawan Iran?

Bagaimana sikap Qatar, sedangkan dukungan Iran untuk kekuatan perlawanan di Palestina dan Lebanon menjadi pemicu utama permusuhan AS terhadap Iran. Inilah peta konflik baru yang lebih sulit memetakannya.

Jika Qatar terlibat dalam perang melawan Iran, artinya Qatar sepakat menghapus bantuan kepada perlawanan kemerdekaan Palestina yang juga selama ini banyak diberikan Iran untuk Palestina. Artinya, kemampuan kelompok perlawanan Palestina menghadapi entitas Zionis akan menjadi lebih lemah.

Kini, dunia Islam dan khususnya rakyat Palestina sedang menunggu. Berharap Qatar tidak akan beralih ke normalisasi Teluk yang memberikan layanan besar kepada entitas Zionis Israel dengan mengorbankan Palestina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement