Selasa 19 Jan 2021 08:57 WIB

Islam di Jawa: Dari Haji, Perubahan Sosial, dan Politik

Pemahaman orang Jawa terhadap Islam terjadi perubahan yang dahsyat

Sosok santri Jawsa di masa lalu.
Foto:

Dan mengingat status kaum Jawa santri saat itu sebagai kelompok minoritas tidak mengejutkan bahwa ketika peneliti seperti Clifford Geerd dan sejawatnya yang pada kurun akhir 1950-an  itu melakukan penelitian mereka di Pare (dekat Kediri), kemudian sampai adanya tiga kelompk dalam penghayatan agama Islam: Santri, Priyayi, dan abangan. Namun, kini akan menjadi bisa sepenuhnya keliru sebab abangan dan priyayi ternyata sudah jadi santri. Mereka tak lagi terkotak secara parsial.

Mengapa menjadi hal 'ajaib? Ricklef menulis karena sebelumnya di zaman lalu, ketiga kelompok orang Islam di Jawa seolah tak akur. Katanya:

‘Sangat sulit, mengingat tradisi dan struktur sosialnya, bagi seorang Jawa untuk menjadi ‘Muslim yang sejati’… Allah yang asing, menakutkan dan menajubkan moralisme yang berta, serta ekskluvisme yang intoleran yang menjadi bagian yang amat penting dalam Islam sangat asing bagi cara pandang tradisional Jawa'.

Nah, dalam hal ini Ricklef kemudian menanyakan dan ingin mencari tahu mengapa hasil pengamatan Geertz itu – yang konsisten dengan fenomena sosial yang teramati pada waktunya – kemudian dalam beberapa dasa warsa saja demikan tidak tepat karena perubahan sosial politik. Dan politik ternyata adalah bagian yang penting dari cerita perubahan tersebut.

Salah satu indakasi lainnya perubahan sosial itu dalam soal ibadah haji. Sampai tahun 1950-an orang yang berangkat naik haji dari wilayah Jawa jauh lebih rendah, bahkan lebih rendah jumlahnya dari sebelum masa Perang Dunia II.

Pada 1914, terdapat 1.006 jamaah haji yang berangkat dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura, sementara pada 1921 terdapat 15.036 jamaah. Walaupun jumahnya besar tersebut bukanlah suatu yang biasa, sebab secara lebih umum dapat dikatakan bahwa rata-rata jumlah jamaah haji dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura adaah 8.400 orang per tahun dan tidak pernah lebih rendah dari 5.000 orang.

Walaupun dasarwarsa 1950-an merupakan periode yang tidak terlalau baik dari sudut pandang ekonomi bagi masyarakat Jawa, sulit untuk menjelaskan turunnya jumlah jamaah haji atas dasar menurunnya tingkat kemakmuran di antara kaum santri, sebab dasarwarsa 1920-dan 1930-an kiranya lebih berat dari aspek yang satu ini (adanya krisis ekonomi besar dunia).

Adanya kenyataan itu, maka kemudian menjadi bahan pertanyaan berikutnya apakah penurunan jumlah jamaah haji ini mencerminkan berkurangnya jumlah masyarakat Jawa yang cukup saleh dan taat pada ajaran Islam untuk menjalankan ibadah haji atau bahkan tengah terjadi ‘deislamisasi’.

Namun, kemudian juga ada jawabannya yang lain, yakni penurunan jumah jamaah haji di Jawa pada dasawarsa 1950-an yang itu juga sudah terjadi sebelum masa peran, dalam hal ini kiranya terjadi karena menunjukan penurunan pendapatan masyarakat Indonesia secara umum.
                      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement