Rabu 19 May 2021 09:54 WIB

Arsitektur Penjajahan Zionis Israel

Jarang diungkap akar persoalan di ranah arsitektural terkait penjajahan Palestina.

Seorang Palestina memeriksa kerusakan gedung berlantai enam yang dihancurkan bom Israel di Kota Gaza, Selasa (18/5).
Foto: AP/Khalil Hamra
Seorang Palestina memeriksa kerusakan gedung berlantai enam yang dihancurkan bom Israel di Kota Gaza, Selasa (18/5).

Oleh : Ilya F Maharika, Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Konflik Palestina-Israel sering dilihat sebagai persoalan politis atau ideologis atau bahkan agama. Jarang diungkap di publik bahwa terdapat persoalan di ranah arsitektural dan spasial yang dalam spektrum konflik justru dapat dilihat sebagai salah satu akar masalah.

Eyal Weizman dan Rafi Segal, keduanya adalah arsitek Israel, telah memublikasikan kajian kritis tentang peran arsitektur sebagai strategi penjajahan sipil. Studi mereka yang berjudul A Civilian Occupation (2002) sedianya merupakan kontribusi Israel dalam pameran di World Congress of Architecture di Berlin 2002.

Namun, karena sangat subversif bagi Israel, keikutsertaan mereka dibatalkan oleh Ikatan Arsitek Israel dan ribuan katalog pamerannya dibakar. Mereka kemudian mendapat kesempatan memamerkannya di venue lain, yaitu dalam sebuah pameran berjudul "Territories" di KunstWerke Berlin di mana penulis sempat mengunjunginya dan mendapatkan kopi publikasi awalnya.

Dalam studi itu mereka menunjukkan bahwa strategi arsitektural dan spasial utamanya berupa membangunan permukiman justru menjadi alat utama proses pendudukan teritori Palestina. Permukiman itulah yang dipermasalahkan oleh masyarakat Palestina yang dalam banyak kasus menggunakan tanah yang sebelumnya dihuni atau dimiliki oleh mereka.

Ketika masyarakat pemilik tanah tersebut protes, muncul konflik. Atas alasan untuk melindungi warganya, Israel kemudian melabeli konflik tersebut sebagai serangan teroris terhadap warganya dan oleh karenanya kehadiran militer lantas mendapatkan pembenaran (justifikasi).

Artinya, arsitektur justru dihadirkan dengan sengaja sebagai ujung tombak penjajahan. Militer hadir belakangan untuk memastikan legitimasi messianik itu aman dari "gangguan teroris". 

 
Artinya, arsitektur justru dihadirkan dengan sengaja sebagai ujung tombak penjajahan.

 

Dalam studi itu diperlihatkan secara detail dan spesifik strategi arsitektural yang dipakai Israel untuk mengontrol teritori, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan. Sebagian besar permukiman baru diposisikan di puncak-puncak bukit, dihubungkan dengan jalan-jalan bebas hambatan yang dibentengi dengan pagar-pagar beton, dan dilindungi dengan militer yang sangat kuat.

Kombinasi ini menjadi alat memecah belah permukiman Palestina yang berada di lembah-lembah yang menjadikan ide negara Palestina yang utuh tidak mungkin terjadi. Posisi yang di lembah-lembah juga menjadikan secara militer target yang sangat mudah dijinakkan.

Arkeologi dipakai sebagai pembenaran atas pemilihan lokasi permukiman dengan klaim lokasi-lokasi tersebut mempunyai signifikansi sejarah sebagai "Tanah yang Dijanjikan." Jejaring lokasi strategis dan jalan bebas hambatan yang dilengkapi dengan tembok masif penahan infiltrasi ini mampu menciptakan hegemoni spasial yang sangat kuat walaupun pada awalnya hanya menggunakan sedikit bagian teritori Palestina.

Kajian tersebut kemudian dikembangkan menjadi buku yang komprehensif, di antaranya adalah Hollow Land Israel's Architecture of Occupation juga oleh Eyal Weizman (2007). Dalam buku ini ia menjelaskan secara gamblang politik penjajahan Israel melalui geografi, arkeologi, dan arsitektur.

photo
Pasukan Israel mengintip ke dalam sebuah rumah di Nablus, Tepi Barat, Selasa (4/5) lalu. - (AP/Majdi Mohammed)

 

Peta batas wilayah bagi Israel adalah entitas elastis, mengambang, yang seenaknya diubah dan didefinisikan melalui beragam peranti yang mencacah-cacah teritori Palestina. Entah dengan dinding pemisah, penghalang, blokade wilayah, penutupan jalan, pos pemeriksaan, daerah steril, zona keamanan khusus, daerah militer tertutup, dan zona aman yang terus bergeser dan meluas.

Dengan batas yang elastis ini Israel membangun permukiman-permukiman baru yang dilegitimasi dengan istilah Ibrani hitnahlut. Istilah ini, merujuk Weizman, dipakai sebagai upaya memberi pemahaman kepada publik Israel --melalui bahasa agama-- bahwa tanah tersebut merupakan hak national messianic, hak bernegara "yang dijanjikan".

Studi Weizman dan Segal juga menunjukkan bahwa ide untuk membagi Palestina menjadi dua negara hampir mustahil karena kenyataan yang ada saat ini adalah Palestina yang mirip puzzle yang saling tidak berhubungan dicacah oleh permukiman dan jaringan jalan (dan tembok) Zionis. Konflik sejak awal telah berkembang menjadi konflik jalanan antara warga dan pemilik tanah Palestina yang majemuk dengan penduduk pendatang Zionis yang monoetnis dan mengeklaim tanah tersebut sebagai pemberian Tuhan.

Merefleksi dari studi tersebut tampak bahwa harapan pembebasan Palestina melalui militer akan sangat sulit, kecuali ada "tangan Tuhan" yang mengubah takdir. Diplomasi melalui Amerika Serikat barangkali hanya pepesan kosong karena sejak awal rezim mereka tidak dapat dipisahkan dengan lobbi Zionis.

Berharap pada rezim di Eropa sama saja mencoreng muka mereka karena sejatinya merekalah yang menjadi desainer awal konflik ini dengan "memindahkan" Yahudi dari tanah Eropa ke Timur Tengah. Mereka telah menjadi rejim yang terjerat oleh masa lalunya dan terpaksa menjadi hipokrit, mengkhianati etika dan logika mereka sendiri, apabila menyangkut perkara Israel. 

Barangkali satu-satunya peluang adalah melalui penyadaran kolektif masyarakat sipil, terutama di Eropa dan Amerika serta di dalam Israel sendiri, yang didukung seluruh dunia, bahwa penjajahan Palestina oleh rejim Zionis adalah nyata. Kekuatan sipil ini harus mampu menumbangkan rejim Zionis melalui jalur "demokrasi" -- atau people power, apa pun sebutannya -- bersamaan dengan dibongkarnya tembok dan perangkat pembatas wilayah.

Masyarakat Zionis yang monoetnis harus menerima kenyataan "Tanah Yang Dijanjikan" untuk mereka telah ada pemiliknya dan rela untuk berbaur. Masyarakat Palestina yang sejak awal menjadi korban barangkali harus rela menerima kantong-kantong pemukim Israel.

Mereka harus  bersama berdempetan membangun permukiman dan jalan bersama, atau dalam bahasa Sloterdijk menjadikan gelembung-gelembung yang saling berinteraksi dan sekaligus koeksistensi (Sloterdijk, 2004), sebagai mana layaknya warga satu negara. Tulisan ini adalah ikhtiar penyadaran kolektif tersebut, sebuah ikhtiar kecil untuk turut menumbangkan rezim Zionis. 

Wallahualam Bissawab; hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran sejati. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement