Senin 05 Jul 2021 17:32 WIB

Mimpi Bertemu Rasulullah SAW Titik Balik Imam Al Asyari

Abu Hasan Al Asyari bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebelum keluar Mutazilah

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Abu Hasan Al Asyari bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebelum keluar Mutazilah. Ilustrasi Abu Hasan Al Asyari
Foto: MGROL100
Abu Hasan Al Asyari bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebelum keluar Mutazilah. Ilustrasi Abu Hasan Al Asyari

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sejarah Islam, ada banyak sosok yang berkontribusi besar dalam khazanah keilmuan agama. Di ranah teologi, ketokohan Abu Hasan Al Asyari telah diakui luas, bahkan hingga saat ini. 

Pemikiran dan keteladanannya memberikan penga ruh yang signifikan untuk kaum Muslimin, terutama ahlussunnah waljamaah (aswaja). Bagi pengikut teologi aswaja, ulama kelahiran Basrah (Irak) tersebut dijuluki sebagai penyelamat umat dari pelbagai paham yang menyimpang, semisal Mutazilah atau Rafidhah.

Baca Juga

Hingga berusia dewasa, Abu Hasan Al Asyari terus mengkaji ajaran-ajaran Mutazilah. Sampai suatu hari, tatkala usianya genap 40 tahun, dirinya mulai terpikir akan titik lemah aliran ini. 

Ia pun bertanya kepada Al Jubbai mengenai keyakinan kaum Mutazilah tentang keadilan Tuhan yang dapat dimengerti dalam batas-batas manusia. Dialog antara bapak dan anak tiri, atau guru dan murid ini dikutip Majid Fakhry dalam A History of Islamic Philosophy (1986).

“Bagaimana nasib tiga bersaudara ini di akhirat? Si sulung meninggal dalam keadaan baik atau husnul khatimah. Si tengah mati dalam kondisi berdosa. Adapun si bungsu wafat sebelum mencapai akil baligh atau usia dewasa,” tanya Al Asyari. 

“Si sulung masuk ke dalam surga. Yang berdosa masuk ke dalam neraka. Adapun yang ketiga berada dalam posisi pertengahan,” jawab Al Jubbai. 

“Bagaimana jika si bungsu menuntut kepada Allah agar diizinkan bergabung dengan saudara tertuanya yang lebih beruntung (masuk surga)?” tanya sang murid lagi.

Tuntutan itu ditolak karena si sulung diizinkan ke surga berkat amal-amalnya yang saleh selama di dunia. Bagaimana kalau bungsu itu mengajukan protes, 

'Jikalau saja aku diberikan umur panjang, tentu akan hidup dengan banyak berbuat ke baikan'? Lalu, Tuhan mengatakan, 'Aku dapat me ramalkan bahwa kamu tidak akan berbuat seperti itu dan, karena itu, aku lebih suka menghindarkan engkau dari siksaan yang kekal dalam neraka.'

Lantas, saudara yang mati dalam keadaan jelak (husnul khatimah) berseru, 'Wahai Tuhan, tentu Engkau telah meramalkan keadaanku, tetapi mengapa Engkau tidak memperlakukanku sebaik yang telah Engkau lakukan terhadap saudaraku?' 

(Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa penduduk neraka juga menyahut percakapan ini, 'Wahai Tuhan, mengapa Engkau tidak mematikan kami saja sebelum kami menjadi orang-orang yang durhaka kepada-Mu?'),” tutur Al Asyari.

Al Jubbai kemudian tidak bisa mengatakan apa yang mungkin menjadi jawaban Tuhan atas sanggahan tersebut, yakni berdasarkan asumsi Mutazilah tentang keadilan Allah. 

Sejak saat itu, Al Asyari mulai ragu-ragu terhadap Mutazilah. Bahkan, lelaki Basrah ini sampai mengurung diri dalam rumahnya selama dua pekan berturut-turut. 

Seperti dinukil dari Al Fayyadl dari kitab karangan Ibnu As Sakir, Tabyin Kidzb Al Muftari, Al Asyari menuturkan pengalamannya dalam saat-saat krusial tersebut. Bahkan, diakuinya, sempat ia mengalami mimpi berjumpa Nabi SAW. 

“Tebersit dalam hatiku beberapa permasalahan dalam ilmu akidah. Aku pun berdiri untuk melaksanakan sholat dua rakaat. Aku lalu memohon kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk untukku menuju jalan yang lurus. Lantas, aku pun mengantuk dan tertidur. Tak lama kemudian, aku mimpi bertemu Rasulullah SAW. Kuadukan beberapa permasalahan ke pada beliau. Rasulullah SAW mewasiatkan, 'Tetapilah sunnah-ku.' Aku pun terjaga dan segera membandingkan beberapa permasalahan ilmu akidah dengan dalil-dalil yang kutemukan dalam Alquran maupun hadits. Aku menetapinya dan membuang selainnya di balik punggungku,” tutur Al Asyari.

Mimpi tersebut menjadi motor baginya untuk mantap meninggalkan Mutazilah. Maka, selama menyendiri dalam rumahnya, Al Asyari sibuk menelaah kitab-kitab, berpikir, dan menulis. 

Naskah-naskah yang ditulisnya kemudian dihimpunnya untuk ditunjukkan kepada jamaah sekalian. Setelah 15 hari lamanya, ia pun kembali ke masjid. Orang-orang sudah menunggu kemunculannya. Usai memimpin sholat, Al Asyari naik ke mimbar untuk berpidato.

“Wahai sekalian masyarakat, katanya, berhari-hari aku menjauh dari kalian karena ingin meneliti beberapa permasalahan akidah. Aku meminta petunjuk kepada Allah. Maka, Dia pun memberikanku petunjuk kepada keyakinan yang telah kutuliskan dalam lembaran-lembaran ini. Dan aku menyatakan sejak saat ini, kuberlepas diri dari seluruh akidah menyimpang yang kuyakini selama ini. Aku berlepas darinya, sebagaimana kulepaskan kain ini (Al Asyari menanggalkan kain pakaian yang dikenakannya, sebagai isyarat kebulatan hati –Red).”

Sesudah peristiwa itu, Al Asyari menjadi peletak dasar-dasar metodologi (manhaj) yang dikenal dengan sebutan Asyariyah. Bersama dengan Maturidiyah yang digagas seorang alim dari Asia Tengah Imam Abu Mansur Al Maturidi, mereka menjadi representasi dari teologi mayoritas ulama dari masa ke masa. Keduanya pun didaulat hingga kini sebagai imam besar aswaja. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement