Mandhur kecil memiliki semangat tinggi dalam mengaji ilmu-ilmu agama. Karena itu, dia pernah meminta kepada ayahnya untuk didaftarkan pada sebuah pesantren. Lembaga tradisional ini berlokasi cukup jauh dari kediamannya. Joyo Jendul lantas memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren Punduh, Magelang.
Usai belajar di sana, Mandhur meneruskan rihlah keilmuannya ke pondok pesantren yang lebih besar di Jawa Timur. Hingga akhirnya, ia berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Pemuda ini juga sempat berbaiat kepada seorang mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Magelang, yaitu KH Umar.
Setelah merasa cukup mencari ilmu, Mandhur muda kembali ke kampung halamannya. Beberapa waktu kemudian, dirinya menikah. Setelah berumah tangga, ia menetap di Dusun Ngebel, Desa Kedungumpul, Kandangan, Temanggung. Di sana, anak pejuang Perang Dipo negoro itu dihormati masyarakat setempat sebagai dai. Atas inisiatifnya, berdirilah Masjid at-Takwa sebagai pusat kerohanian penduduk Kandangan. Lahan masjid tersebut merupakan hibah dari mertuanya.
Sekitar 1924, area sekitar Masjid at-Takwa telah berfungsi sebagaimana lingkungan pesantren. Maka, Kiai Mandhur membangun sejumlah bangunan kamar tempat tinggal para santri. Untuk itu, masyarakat setempat bersedia membantu secara gotong royong. Kebersamaan itu pun membuahkan hasil.
Dari bulan ke bulan, kawasan tersebut semakin menunjukkan kekhasan pesantren. Akhirnya, berdirilah lembaga yang bernama Pondok Pesantren al-Falah di sana. Keberadaan institusi itu tidak hanya membawa berkah bagi penduduk Dusun Ngebel, tetapi juga masyarakat Temanggung pada umumnya.
Santri-santri yang belajar di pondok tersebut berasal dari berbagai daerah. Selama beberapa lama, Kiai Mandhur menjadi pengasuh pesantren itu. Kesehariannya dijalani dengan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada para santri dan penduduk Muslim setempat.