Rabu 20 Oct 2021 23:20 WIB

Teladani Nabi Muhammad dengan Maksimalkan Potensi Masjid

Nabi Muhammad membangun masjid saat tiba di Madinah.

Rep: Ratna AJeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Teladani Nabi Muhammad dengan Maksimalkan Potensi Masjid. Foto: Masjid Quba
Foto: Saudi Gazette
Teladani Nabi Muhammad dengan Maksimalkan Potensi Masjid. Foto: Masjid Quba

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Imam Masjid New York Shamsi Ali mengatakan sejarah mengenal bahwa ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah hal pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid. Masjid inilah yang saat ini dikenal dengan masjid Quba. 

Keputusan membangun masjid ini mengajarkan bahwa masjid memang adalah pusat kehidupan dan peradaban yang dibangun oleh Islam. Tentu dengan pemahaman yang komprehensif bahwa masjid bukan sekedar tempat sujud sebagai kegiatan ritual. Tapi masjid yang dipahami secara luas sebagai pusat ketaatan dan pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT. 

Baca Juga

Dengan pemahaman seperti ini masjid akan memainkan paranan maksimal dalam mewujudkan peradaban itu. Bahwa dari masjid terlahir pasar, sistim politik dan pemerintahan, ekspresi budaya dan kehidupan sosial, bahkan kegiatan diplomasi hingga ke pertahanan negara (militer). 

Agar masjid maksimal dalam memainkan peranan itu minimal ada lima hal yang perlu menjadi bagian dari perhatian penting masjid itu. 

Pertama, masjid harus menjadi pusat pengembangan wawasan. 

"Saya ingin membedakan antara ilmu dan wawasan. Wawasan adalah karakter berpikir atau cara pandang seseorang kepada sesuatu. Wawasan itu bukan sekedar sikap intelektulitas. Tapi sekaligus mencakup karakter dan kepribadian seseorang atas pengetahuan atau keilmuannya,"ujar dia, Rabu (20/10).

Hal ini berarti bahwa ilmu seseorang  itu bukan sebuah jaminan untuk menjadikannya memiliki wawasan atau cara pandang yang benar dan luas. Bahkan tidak jarang ilmu seseorang menjadikannya terkungkung dalam perasaan paling tahu. 

Di sìnilah masjid harus menjadi pusat pengembangan wawasan. Jamaah harus dibiasakan untuk terbuka, termasuk membuka wawasan. Sehingga ketika ada masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan yang timbul akan disikapi secara luas dan dewasa. 

Kedua, masjid harus menjadi pusat untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat. Ketika Al-Quran menyampaikan urgensi untuk mengembangkan masjid, Al quran justru memakai kata “ya’muru” (at-Taubah: 18).  Kata ini berarti meramaikan, mengembangkan, membangun.

Tapi arti yang paling populer adalah memakmurkan itu sendiri. Kata ini sendiri mengindikasikan bahwa masjid harus berperan sebagai pusat kamakmuran atau pemakmuran. Tentu bukan saja masjidnya tapi yang terpenting adalah jamaah masjid itu. 

Dengan itu harus dipahami bahwa masjid itu sekaligus memiliki tanggung jawab memakmurkan jamaahnya. Bukan justru masjid megah di mana-mana. Tapi masyarakat yang ada di sekitarnya menjadi masyarakat yang papah. 

Ketiga, masjid harus menjadi perekat ukhuwah dan kesatuan Umat.  

Ketika masjid dipahami sebagai tempat berjamaah maka pemahaman itu harus lebih dari sekedar pemahaman ritual semata. Bahwa sholat jamaah itu lebih afdhol dari shalat sendirian hingga 27 kali lipat, tidak saja dari perspektif  kuantitas pahalanya. Tapi kualitas nilai ukhuwah dan jamaah atau kebersamaan yang terbangun. 

Karenanya masjid harus dijadikan dorongan moral untuk merajut dan menguatkan ukhuwah. Sehingga diharapkan pesan-pesan masjid akan selalu terasa menyejukkan ukhuwah dan kesatuan Umat.

Termasuk tentunya perlunya kedewasaan dalam menyikapi perbedaan yang ada, termasuk perbedaan madzhab. Bahkan perbedaan madzhab politik sekalipun. 

Keempat, masjid harus menjadi pusat pengembangan keilmuan dan pemikiran. 

Di negara-negara Asia Selatan masjid besar biasanya dinamai Jaami. Kata itu tentunya diambil dari kata jama’ah. Tapi kata ini juga melahirkan kosa kata yang baru, yaitu Jaa’miah yang berarti universitas. 

Hal ini mengindikasikan bahwa masjid memang harus menjadi pusat pengembangan keilmuan dan pemikiran. Bukankah salah satu aspek masjid Rasulullah SAW (masjid An-Nabawi) yang terkenal adalah Raudhoh. Sebuah tempat khusus di dekat mihrab. Bahkan dijuluki sebagai Raudhoh min riyadhil al-Jannah atau taman dari taman-taman syurga. 

Kelima, masjid juga harus menjadi pusat keamanan dan perdamaian. 

Ketika Allah menggambarkan masjidil haram dalam Al-Quran, Allah menyebutkan bahwa siapa yang memasukinya dia akan aman. Para Ulama mengatakan bahwa ketika seseorang masuk ke masjidil haram (dan masjid-masjid lainnya) maka dia bertanggung jawab untuk mewujudkan keamanan  dan kedamaian. 

Bahwa keamanan dan kedamaian akan dirasakan tidak saja orang-orang yang ada di masjid (orang-orang beriman). Tapi dengan komitmen dan karakter kedamaian orang-orang atau ahli masjid menjadikan masyarakat sekitar merasa aman dan damai termasuk  mereka yang non muslim. 

Itulah beberapa hal yang harus diperankan oleh masjid jika diharapkan bahwa masjid itu akan menjadi pilar bangkitnya peradaban manusia. Sayang masjid saat ini dipahami secara parsial dan sempit. Sehingga terasa keberadaan masjid itu kurang maksimal, bahkan naif dalam mewujudkan harapan bagi kebangkitan peradaban Islam itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement