Senin 06 Dec 2021 13:32 WIB

Studi: Islamofobia Pengaruhi Tenaga Kesehatan Inggris

Nakes etnis minoritas dan muslim ditekan bekerja di garis depan tanpa APD memadai

Rep: Zahrotul Oktaviani / Rizky suryarandika/ Red: Esthi Maharani
Seorang karyawan NHS memeriksa ruang vaksinasi di pusat vaksinasi massal Elland Road di Leeds, Inggris
Foto:

Istilah "Islamofobia" sendiri pertama kali diciptakan oleh Runneymede Trust pada 1997, tetapi Kelompok Parlemen Semua Partai (APPG) tentang Muslim Inggris baru mengadopsi istilah formal ini pada 2018 dan sejak itu diterima oleh Partai Buruh dan sejumlah kota-kota Inggris.

Selama Bulan Islamofobia 2020, Asosiasi Dokter Muslim bermitra dengan The Grey Area meluncurkan survei mendalam yang mengeksplorasi persepsi dan pengalaman petugas layanan kesehatan Muslim di NHS.

Pada akhirnya, data tersebut akan dimasukkan ke dalam kebijakan perawatan kesehatan untuk mengatasi diskriminasi struktural, Islamofobia, dan masalah kesejahteraan yang memengaruhi petugas layanan kesehatan Muslim. Peserta survei ini dirahasiakan, untuk mendorong lebih banyak orang merespons secara bebas dan tanpa rasa takut akan dampak negatif apa pun.

Pada 2020 dan 2021, kuesioner terperinci disebarkan melalui Asosiasi Dokter Muslim dan jaringan perawatan kesehatan etnis minoritas. Termasuk di dalamnya, NHS Muslim Network, NHS Muslim Women's Network, British Islamic Medical Association, APPS UK, Fair Play Talks, The British Somali Asosiasi Medis dan Ask Doc.

Kriteria inklusi adalah profesional kesehatan yang berbasis di Inggris dengan peran menghadapi pasien. Kuesioner mencakup data demografis dan pengalaman yang dieksplorasi di tempat kerja dan kesejahteraan.

Tujuan utama dari survei ini adalah memahami pengalaman profesional perawatan kesehatan Muslim yang bekerja di NHS dan menganalisis prevalensi, maupun dampak diskriminasi dan eksklusi yang terkait dengan identitas iman profesional perawatan kesehatan Muslim.

Hasil survei ini dikompilasi dan diterbitkan dalam sebuah laporan yang disebut 'Exclusion on the Front Line'. Laporan tersebut mengungkapkan, mayoritas profesional pekerja perawatan kesehatan Muslim mengalami bias sistemik dan prasangka interpersonal dalam karir mereka.

Pada tingkat organisasi, profesional Muslim diabaikan dalam hal promosi dan menghadapi bias saat menjalankan pekerjaan sehari-hari mereka.

Bias, prasangka, diskriminasi dan rasisme terbukti terjadi di seluruh spektrum profesional kesehatan Muslim. Hal ini mulai dari sekolah kedokteran hingga lamaran kerja dan rekrutmen, hingga penilaian berbasis tempat kerja, ujian pascasarjana, dan peningkatan karier.

Para pekerja profesional ini juga melaporkan adanya perlakuan berbeda seputar peluang karir, seperti alokasi proyek serta fleksibilitas waktu kerja dan beban kerja.

'Exclusion on the Front Line' mengungkapkan banyak yang tidak nyaman, secara terbuka mempraktikkan agama mereka, yang pada gilirannya mencegah mereka tampil sesuai keagamaannya. Delapan dari 10 mengalami asumsi negatif tentang agama mereka, dan 7 dari 10 melaporkan stereotip negatif yang dirasakan atau didengar tentang Muslim di tempat kerja.

Responden yang lain melaporkan mereka merasa dijauhi, diabaikan, diintimidasi, diejek dan tidak dihargai secara sosial karena keyakinan mereka. Termasuk mendapat komentar negatif dari pasien.

Hasil survei juga melaporkan kesulitan mempraktikkan iman mereka, baik shalat, doa, puasa, serta cuti untuk acara keagamaan. Pemberi kerja disebut gagal mengakomodasi permintaan untuk mempraktikkan keyakinan Muslim mereka, sementara permintaan yang sama diberikan kepada rekan kerja non-Muslim.

Pada tingkat interpersonal, perilaku bias, prasangka dan diskriminasi bisa berasal dari pasien dan kolega, termasuk staf klinis, manajer dan sumber daya manusia. Ketika petugas kesehatan Muslim mengalami diskriminasi ras dan agama dari pasien di hadapan rekan kulit putih atau non-Muslim lainnya, para pekerja tersebut tidak menerima dukungan atau intervensi dari rekan perawat kesehatan.

Pengalaman kolektif ini lantas memiliki dampak yang sangat negatif. Responden melaporkan gejala stres, kelelahan, kecemasan dan depresi, insomnia dan hubungan yang tegang dengan rekan kerja.

Salah satu penanggung jawab survei, Dr Hina Shahid dan Hira Ali, bersikeras perubahan harus datang dari atas. Akuntabilitas harus ditetapkan untuk departemen dan manajemen yang gagal menyalurkan orang ke jalur kariernya, sembari berupaya mengecilkan stereotip yang memengaruhi jalur itu secara negatif.

Untuk melawan intimidasi dan bentuk provokasi lainnya secara efektif, pelaku bisnis secara aktif harus menerapkan strategi mitigasi, bukan hanya penahanan. Mereka juga harus mengembangkan, memantau dan meninjau kemajuan secara teratur.

Responden menyatakan, mereka merasa pelatihan oleh pengamat dan pelatihan bias bawah sadar untuk manajer dan rekan kerja akan sangat membantu.

Namun, dengan sendirinya, upaya ini tidak serta merta mengarah pada solusi yang berarti atau berkelanjutan. Ruang aman untuk pembelajaran berkelanjutan, refleksi dan dialog konstruktif akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang inklusif. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement