Ahad 12 Dec 2021 17:16 WIB

Presiden Raisi: Iran Serius dalam Negosiasi Nuklir

Diplomat Iran mengakui beberapa masalah belum dapat diselesaikan dalam perundingan.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Iran Ebrahim Raisi.
Foto: AP/Vahid Salemi
Presiden Iran Ebrahim Raisi.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan, bahwa negaranya serius dalam negosiasi nuklir dengan negara kekuatan dunia di Wina, Sabtu (11/12) waktu setempat. Hal itu ia katakan ketika perunding utama Iran mengatakan perbedaan pendapat penting tetap ada dalam negosiasi.

"Fakta bahwa kami mempresentasikan teks proposal Iran kepada para pihak yang bernegosiasi menunjukkan bahwa kami serius dalam pembicaraan, dan jika pihak lain juga serius tentang penghapusan sanksi (AS), kami akan mencapai kesepakatan yang baik," kata Kantor berita IRNA mengutip perkataan Raisi.

Baca Juga

Namun negosiator utama Iran Ali Bagheri Kani mengatakan bahwa beberapa masalah tetap belum terselesaikan dalam pembicaraan Wina. "Beberapa poin perbedaan tetap ada yang membutuhkan pengambilan keputusan di tingkat tinggi dan ini masih di atas meja yang belum terselesaikan," kata Ali Bagheri Kani kepada Press TV yang dikelola pemerintah.

Setahun setelah penerapan kembali sanksi Trump terhadap Iran, Teheran mulai secara bertahap melanggar perjanjian batas nuklir. Sedangkan Iran ingin semua sanksi dicabut.

Bagheri Kani mengatakan bahwa Teheran berdiri teguh pada posisi yang ditetapkan minggu lalu. Perundingan tidak langsung Amerika Serikat (AS)-Iran untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 tengah berlangsung di ibu kota Austria, Wina. Para diplomat Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Cina berupaya negosiasi dengan Iran karena Teheran menolak kontak langsung dengan Washington.

Sebuah sumber Eropa yang berbicara dengan merahasiakan identitasnya mengatakan bahwa Iran sepakat untuk melanjutkan pembicaraan dengan kekuatan dunia yang ditinggalkan pada Juni, namun Iran membantahnya. Di bawah kesepakatan awal, Iran membatasi program nuklirnya dengan imbalan bantuan dari sanksi AS, Uni Eropa dan PBB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement