Jumat 31 Dec 2021 17:30 WIB

IKADI Ajak Umat Muhasabah Saat Pergantian Tahun

Tahun baru jadi momentum untuk muhasabah.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
IKADI Ajak Umat Muhasabah Saat Pergantian Tahun. Foto: Logo IKADI
Foto: islamedia.web.id
IKADI Ajak Umat Muhasabah Saat Pergantian Tahun. Foto: Logo IKADI

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --- Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), ustaz Dr. Ahmad Kusyairi Suhail mengajak umat Muslim untuk memanfaatkan momentum pergantian tahun baru Masehi untuk bermuhasabah diri. Menurut ustaz Kusyairi pergantian tahun bukan untuk  hura-hura, foya-foya dan berpesta pora, apalagi di tengah kondisi bangasa yang masih diselimuti pandemi covid-19 dan sejumlah bencana.

"Ketika seseorang melewati malam pergantian tahun, maka sesungguhnya wajib bersyukur kepada Allah SWT karena masih diberi nikmat panjang umur dan kesempatan untuk mengukir prestasi amal shalih menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Masih diberi Allah kesempatan untuk menyongsong hari esok dan masa depan yang cemerlang. Apalagi dengan bertemu tahun baru, berarti jatah hidup kita di dunia, terus berkurang dan itu artinya semakin mendekatkan kita kepada kematian," kata ustaz Kusyairi kepada Republika pada Jumat (31/1).

Baca Juga

Karena itu, ustaz Kusyairi menjelaskan dalam sebuah Nabi SAW menegaskan bahwa manusia yang cerdas adalah manusia yang memiliki pandangan jauh ke depan dan visioner. Tidak hanya memikirkan keberhasilan, kesuksesan dan kebahagiaan di dunia saja, melainkan  juga memikirkan kesuksesan dan kebahagiaan di akhirat.

Rasulullah bersabda,

*الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

”Orang yang cerdas/pandai adalah yang menahan nafsunya (mengevaluasi dirinya sendiri) serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan (kosong) terhadap Allah Ta’ala“. (HR. Ibn Majah, no. 4250, Al Hakim, IV/341 dan ia menshahihkannya).

Ustaz Kusyairi mengatakan muhasabah yang berasal dari akar kata hasiba yahsabu hisab adalah sebuah upaya evaluasi diri terhadap kebaikan dan keburukan dalam semua aspeknya. Muhasabah dapat menjadi sarana untuk me-recharge niat dan semangat dalam mengisi dan memanfaatkan dengan baik sisa-sisa umur kita di dunia.

Menurutnya urgensi muhasabah bagi seorang muslim terlihat pada lima hal. Pertama, muhasabah adalah Mathlabun Syar’iyyun (tuntutan syariat). Sebab, merupakan perintah Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

Saat menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Maknanya, hisablah dirimu sebelum kamu dihisab. Lihat dan perhatikanlah apa yang kamu tabung untuk dirimu dari amal shalih untuk hari kebangkitanmu dan saat kamu dihadapkan kepada Rabb-mu. Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui seluruh perbuatan dan keadaanmu. Tidak ada sesuatu apa pun pada dirimu yang tidak diketahui Allah” (Tafsir Ibnu Katsir, V/69).

Sebelumnya, Sayyidina Umar bin Khaththab RA pernah berkata: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena lebih mudah bagi kalian menghisab diri kalian hari ini daripada besok (hari Kiamat). Dan bersiaplah untuk menghadapi pertemuan terbesar. Ketika itu, kalian diperlihatkan/dibeberkan dan tidak ada sesuatu pun pada kalian yang tersembunyi” (HR Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd, hal. 177).

Karena perintah Allah, maka muhasabah merupakan salah satu sarana dan wasilah yang efektif dapat mengantarkan manusia mencapai tingkat kesempurnaan sebagai hamba Allah SWT. Kebiasaan melakukan muhasabah di dunia, dapat meringankan hisab pada hari Kiamat kelak sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Khaththab RA,

*إنما يخف الحساب يوم القيامة على من حاسب نفسه في الدنيا*

“Sesungguhnya hisab pada Kiamat itu akan ringan bagi orang yang biasa menghisab (muhasabah) dirinya di dunia” (HR Tirmidzi).

Kedua, menurut ustaz Kusyairi bahwa muhasabah merupakan Qadhaaya Imaniyah atau diskursus keimanan. Artinya barometer keimanan seorang mukmin sangat ditentukan oleh sejauh mana ia menerapkan muhasabah dalam kehidupannya. Maka, orang yang jarang dan tidak melakukan muhasabah berarti imannya lemah. Sementara orang kuat imannya, akan rajin melakukan muhasabah sehingga termotivasi untuk selalu memperbaiki diri.

Ketiga, muhasabah adalah karakter orang yang bertakwa. Bahkan, dalam ayat di atas, Allah SWT sampai perlu mengapit perintah muhasabah dengan dua kali perintah takwa. Artinya, mustahil seseorang sampai pada derajat takwa ketika tidak pernah mengiringi kehidupannya dengan muhasabah. Padahal surga disiapkan Allah SWT hanya bagi orang-orang yang bertakwa.

Keempat, muhasabah adalah Mathlabun ‘Ashriyyun (tuntutan kekinian). Maka institusi, organisasi, perusahaan, yayasan, kementerian, perkumpulan dan lembaga apa pun, selalu menyelenggarakan muhasabah dalam bentuk koreksi dan evaluasi diri dengan menghitung untung dan rugi, kekurangan dan kelebihan, capaian target dan lain-lain. Semua sadar, bahwa evaluasi diri (muhasabah) melahirkan nilai tambah dalam berfikir dan bertindak lebih cepat dan tepat guna meraih keberhasilan dan kemajuan di segala bidang. 

Kelima, muhasabah adalah kunci sukses kehidupan manusia yang unggul. Generasi terbaik umat islam adalah para sahabat  RA, kehidupan mereka tidak pernah lepas dari kegiatan muhasabah. Muhasabah menggembleng mereka menjadi manusia-manusia besar dengan beragam prestasi amal shalih yang membuat mereka dikenang sepanjang zaman. Namun, mereka tetap merasa khawatir jangan-jangan amal mereka tidak diterima oleh Allah. Mereka sangat takut menghadapi hari Kiamat, hari perhitungan, karena harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia. 

Manusia dengan sifat-sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”._ (QS Al Mu’minuun (23): 57-60).

Tentang ayat ini Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: apakah mereka adalah orang-orang yang biasa minum khamr, berzina dan mencuri? Beliau menjawab: “Bukan wahai putrid Ash Shiddiq. Melainkan mereka adalah orang-orang yang rajin puasa, shalat, shadaqa, tetapi selalu merasa takut jangan-jangan Allah tidak menerima amal-amal mereka. Mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan”. (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).

"Untuk itu, mari kita manfaatkan momentum pergantian tahun untuk muhasabah. Siapapun kita, apakah pejabat, karyawan, orang tua, ibu rumah tangga, pelaku bisnis, politikus, pemimpin, budayawan, guru, dosen, jurnalis dan lain sebagainya. Sudah siapkah kita menghadapi kematian? Sudah cukupkan bekal amal shalih kita? Masihkah kita terus tenggelam dalam dosa, maksiat dan kezaliman? Sudah amanah dan adilkah kita sebagai pejabat atau pemimpin? Apa jadinya jika menghadap Allah di akhirat kelak dalam kondisi diri ‘blepotan’ dosa dan nista?! Mari perbanyak istighfar dan taubat. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita. Mari raih hidup indah dan berkah dengan muhasabah," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement