Selasa 11 Jan 2022 16:15 WIB

Strategi Pemerintah Turunkan Angka Stunting

Intervensi spesifik memiliki pengaruh hingga 30 persen terhadap penurunan stunting.

Rep: Dessy Suciati Saputri/Fuji Eka Permana/ Red: Friska Yolandha
Petugas kesehatan mengukur panjang bayi saat pelaksanaan imunisasi di salah satu Posyandu di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (5/1/2022). Pemerintah berupaya menurunkan angka stunting nasional yang saat ini sebesar 24,4 persen menjadi 14 persen pada 2024 nanti.
Foto: ANTARA/Mohamad Hamzah
Petugas kesehatan mengukur panjang bayi saat pelaksanaan imunisasi di salah satu Posyandu di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (5/1/2022). Pemerintah berupaya menurunkan angka stunting nasional yang saat ini sebesar 24,4 persen menjadi 14 persen pada 2024 nanti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berupaya menurunkan angka stunting nasional yang saat ini sebesar 24,4 persen menjadi 14 persen pada 2024 nanti. Dalam rapat terbatas percepatan penurunan stunting di Kantor Presiden, Selasa (11/1) siang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan agar pemerintah fokus melakukan intervensi penurunan stunting.

“Pada prinsipnya arahan bapak Presiden memang kita harus fokus dan kemudian intervensinya harus tepat sasaran. Maka kami di BKKBN ini yang ditunjuk sebagai pelaksana di lapangan terutama, kami harus mengawal apakah intervensi itu bisa tepat sasaran,” jelas Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo saat konferensi pers usai rapat terbatas.

Baca Juga

Menurutnya, pemerintah telah menyiapkan dua langkah intervensi yang akan dilakukan, yakni intervensi sensitif dan juga intervensi spesifik. Upaya intervensi sensitif akan dikoordinasikan oleh Kepala BKKBN dengan Kementerian/Lembaga terkait. Sedangkan upaya intervensi spesifik akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.

Hasto mengatakan, intervensi sensitif ini memiliki dampak hingga 70 persen terhadap upaya penurunan stunting. Di antaranya yakni lingkungan yang bersih, tersedianya air bersih, faktor kemiskinan, dan juga pendidikan.

 

“Hanya memang faktor sensitif ini sifatnya faktor jauh, bukan faktor yang direct. Sehingga tentu secara simultan faktor yang sensitif ini kita kuatkan, kemudian tadi saya juga mengusulkan kepada bapak Presiden supaya faktor spesifiknya ini juga dikuatkan,” tambah dia.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, intervensi spesifik memiliki pengaruh hingga 30 persen terhadap penurunan stunting. Intervensi spesifik ini terdiri dari sebelum kelahiran yang berkontribusi sekitar 23 persen, dan sesudah kelahiran.

Pada intervensi sebelum kelahiran, pemerintah akan memberikan tablet tambah darah untuk dikonsumsi ibu hamil. Sebab, pada masa sebelum kelahiran, biasanya terjadi kekurangan gizi, kekurangan darah, maupun zat besi (Fe).

“Jadi kita lakukan kita sudah mengubah Permenkes yang tadinya hanya memberikan tablet tambah darah menjadi mengkonsumsi. Karena kalau memberikan dikasih saja, ga diminum juga dicatat. Ini kita ubah,” jelas Menkes Budi.

Selain itu, Kemenkes juga meningkatkan konsultasi ibu hamil dari 4 kali menjadi 6 kali untuk mendeteksi dini potensi stunting sebelum masa kelahiran. Menkes Budi menyampaikan, pemerintah akan menambah kelengkapan alat USG di seluruh puskesmas di berbagai daerah. Saat ini, Kemenkes mencatat, baru dua ribu puskesmas yang telah memiliki alat USG.

Kemudian pada intervensi setelah kelahiran, Kemenkes akan memberikan asupan gizi bagi bayi yang sudah tak mendapatkan ASI. Budi menekankan pentingnya bayi untuk mengkonsumsi protein hewani, seperti satu telur untuk satu hari. Menurut dia, anggaran untuk menyediakan asupan gizi yang dibutuhkan anak-anak ini dapat diambil dari anggaran Dana Desa atau Dana Alokasi Khusus.

“Dalam hal ini, kita minta telur karena telur gampang didapatkan di lokal ada, mengerahkan ekonomi juga, dan juga susu UHT, bukan kental manis. Agar bisa diberikan ke anak-anak sesudah membutuhkan makanan tambahan,” kata Budi.

Selain itu, pemerintah juga akan memperbaiki strategi proses rujukan serta sarana dan prasarananya. Jika berat balita kurang, maka dapat dirujuk ke puskesmas. Sedangkan jika tinggi balita kurang, maka dirujuk ke rumah sakit.

“Jadi kita perbaiki juga proses rujukannya karena selama ini kalau dirujuk ke rumah sakit ga ditanggung BPJS itu. Nah itu kita beresin, supaya bisa ditanggung BPJS di rumah sakit,” jelas dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement