Kamis 13 Jan 2022 09:28 WIB

Teka-Teki Umroh-Haji di Tengah Depresi Besar Ekonomi dan Paparan Pandemi

Sampai kapan umroh dan haji kembali normal?

Jamaah haji wukuf di Arafah selama pandemi Covid-19.
Foto: google.com
Jamaah haji wukuf di Arafah selama pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika, Pemerhati Isu Haji

Pandemi Covid-19 memorakporandakan segalanya. Tak hanya kesehatan, kehidupan sosial dan ekonomi ambruk. Seluruh orang di semua penjuru wilayah dunia hidup terkendala. Semuanya menjadi ada batasan. Hidup bebas yang selama ini dirasakan terasa menyempit.

Pada semua kegiatan keagamaan yang bersifat massal juga tak ada. Termasuk bagi umat Islam ketika ingin melaksanakan haji dan umroh. Haji pun sudah dua tahun terselenggara terbatas hanya untuk jamaah dalam negeri Arab Saudi. Jamaah Indonesia yang setiap tahunnya mencapai 230 ribu orang juga tak bisa datang. Padahal, antrean dalam daftar tunggu haji mencapai 5,5 juta orang. Antrean yang rata-rata sudah mencapai 26 tahun kini dipastikan makin panjang. Tak terbayangkan lagi bila terjadi di banyak daerah di Sulawesi Selatan yang sudah mencapai lebih dari 40 tahun panjang antrean berhajinya. Malah antrean untuk haji di Malaysia kini mencapai 100 tahun.

Tak hanya itu, jamaah umrah yang pada hari biasa setiap tahunnya mencapai 1 juta orang kini tak dapat pergi ke tanah suci. Umroh perdana memang ada, tapi hanya percobaan dan akan dievaluasi. Ketikaan layanan jamaah pergi berumroh tidak hanya menjadi kerugian spritual umat Islam, tetapi juga menjadi kerugian bisnis yang besar. Dua tahun bisnis perjalanan ini ambruk. Banyak sekali biro umroh tutup dan perusahaanya ditawarkan dijual ke publik. Seorang biro perjalanan umroh yang punya gedung megah tiga lantai di Jakarta Selatan yang dahulu bisa memberangkatkan jamaah  sampai lebih dari 60 ribu per tahun kini kantornya sepi. Bahkan sang pemilik mengatakan dengan berkelakar kini bironya jadi tempat jualan sepeda.

Tak ayal lagi, misalnya, bila umroh--dan haji--dibuka, akan semakin eksklusif sifatnya. Tak hanya biaya dan terkait soal usia. Untuk ukuran besaran biaya haji, misalnya, sampai hari ini masih belum ditentukan.

Baca juga : Keutamaan Haji dan Umroh Bisa Jauhkan Pelakunya dari Kemiskinan

Namun, kalau melihat situasi pandemi, pasti akan ada aturan khusus dan berimbas akan biaya perjalanan haji semakin mahal. Begitu juga umroh, harga layanan 'paket hemat' yang lazimnya mencapai 17 juta kini mendekati dua kali lipatnya, bahkan mendekati Rp 40 juta. Tambahan biaya ini pasti dengan menghitung biaya lain-lainnya, seperti karantina, hingga tes kesehatan. Jamaah lansia dan tak terlalu sehat yang dahulu bebas berangkat umroh kini pun terpaksa harus membatalkan niatnya.

Pada sisi lain, bila melihat keadaan ekonomi negara, menjadi sangat masuk akal bila nanti total jamaah umrah untuk jamaah Indonesia hanya berkisar 5-7 persen dari biasanya. Jumlah yang masih terbatas ini akan naik bila keadaan ekonomi membaik dan paparan pandemi menurun. Tapi kapankah akan berakhir? Itu tak ada yang tahu. Berangkat pengalaman pada pandemi flu Spanyol pada 1918-an, pandemi baru hilang setelah empat tahun. Ironinya, pandemi flu Spanyol itu juga memicu perang dunia dan menjadi salah satu penyebab terjadi krisis besar ekonomi dunia pada 1930. Krisis ekonomi ini dikenal dengan sebutan 'great depression tahun 1930' (depresi besar tahun 1930).

Alhasil, pandemi ini memang menjadi penuh teka-teki. Bagi kaum Muslim Indonesia jelas hanya bisa berdoa paparan Covid-19 segera berakhir. Hal yang sama juga bagi para pengelola biro perjalanan umroh, pandemi jangan bertambah panjang lagi. Harus diakui umat Islam memang sudah sangat rindu bertawaf di Ka'bah, tapi apa daya kendala terjadi. 

Depresi besar ekonomi dan paparan pandemi menjadi teka-teki penyelenggaraan umroh dan haji saat ini?

Baca juga : Katib Aam PBNU Soal Vaksin: Ada yang Halal, Mengapa Pakai yang Haram?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement