Jumat 23 Sep 2022 19:00 WIB

Nuruddin Mahmud, Sosok yang Toleran

Syam kembali menjadi pusat intelektual Islam yang benderang.

Koin di masa Dinasti Zankiyah
Foto: Wikipedia
Koin di masa Dinasti Zankiyah

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Prof Ali Muhammad ash-Shallabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Daulah Zankiyah(2007) mengatakan, Nuruddin Mahmud pada dasarnya merupakan seorang ulama sebelum menjadi pemimpin pemerintahan. Putra Imaduddin Zanki itu selalu haus akan ilmu pengetahuan sehingga menyukai diskusi-diskusi keilmuan. Ia juga berupaya memetik keteladanan dari para pendahulunya yang saleh.

Para ulama dalam pandangan Nuruddin menempati kedudukan yang mulia dan agung, ia mengundang mereka dalam forum-forum yang diselenggarakannya, menghormati dan bersikap rendah hati di hadapan mereka, kata ash-Shallabi.

Baca Juga

Reputasi Dinasti Zankiyah pun menyebar luas hingga ke kota-kota besar dunia Islam, semisal Baghdad, Nishapur, dan Ray. Banyak alim ulama yang kemudian memutuskan bermigrasi dari daerah-daerah pusat Kekhalifahan Abbasiyah ke Syam, utamanya Aleppo dan Damaskus--usai dikuasai Nuruddin pada medio abad ke-12. Bahkan, tidak sedikit akademisi dan lulusan universitas-universitas Nizhamiyah yang turut hijrah. Mereka ingin berkontribusi di bawah bendera Zankiyah.

Fenomena itu sangat menakjubkan. Sebab, Syam sejak jatuhnya Dinasti Umayyah pada pertengahan abad kedelapan Masehi cenderung sepi dari aktivitas-aktivitas ilmiah. Sinarnya kalah terang dibandingkan Baghdad pada era Abbasiyah awal, khususnya dengan Bait al-Hikmah yang memesona, atau Andalusia di belahan barat dunia Islam.

Namun, Wangsa Zankiyah mampu mengubah keadaan itu. Syam kembali menjadi pusat intelektual Islam yang benderang. Madrasah-madrasah bertumbuhan di mana-mana di seluruh negeri tersebut.

Di sanalah titik-titik temu para ulama, pakar fikih, sufi, cendekiawan, dan saintis dari pelbagai wilayah. Ash-Shallabi menyebutkan beberapa alim yang berpindah ke Syam. Misalnya ialah Imaduddin Abu al-Fath (guru besar sufi), Abu al-Fath bin Abul Hasan al-Faqih (seorang guru besar Nizhamiyah), Hasan bin ash-Shafi (pakar gramatika Arab yang dijuluki raja nahwu), serta Quthbuddin Mas'ud an-Nisaburi (ahli fikih mazhab Syafii). Tentunya, tidak sedikit ahli ilmu yang berasal dari dalam negeri Syam, semisal pakar hadis yang juga penulis Tarikh Dimashiq, Ibnu Asakir.

Yang cukup istimewa dari sosok Nuruddin ialah sikapnya yang toleran. Ia menghindari fanatis meterhadap mazhab-mazhab tertentu dalam ahlus sunnah waljama'ah (aswaja). Dalam fikih, dirinya berhaluan Hambali. Namun, tidak pernah penguasa Syam itu menutup pintu bagi para pembelajar dan dai dari aliran fikih-Sunni mana pun.

Selain itu, pemimpin yang rutin mendirikan shalat tahajud itu juga mengagumi metode reformasi (islah) yang digagas Imam al-Ghazali (1058-1111 M). Gerakan Islah sang Hujjatul Islam kemudian digiatkan lagi oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166 M) melalui madrasah-madrasah Qadiriyah yang didirikan oleh dirinya serta para pengikutnya di Irak.

sumber : Islam Digest
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement