Sabtu 11 Mar 2023 14:37 WIB

Komnas HAM Desak Negara Akui Adanya Pembiaran dalam Kasus Gagal Ginjal Anak

Komnas HAM mendorong penanganan dan pemulihan korban secara komprehensif.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro. Komnas HAM mendesak negara mengakui adanya pembiaran dalam kasus gagal ginjal akut anak. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro. Komnas HAM mendesak negara mengakui adanya pembiaran dalam kasus gagal ginjal akut anak. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas HAM mengeluarkan sejumlah rekomendasi terkait kasus ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Salah satunya mendesak Negara mengaku pembiaran dalam kasus ini. 

"Mengakui bahwa Negara melakukan pembiaran, tindakan tidak efektif sehingga mengakibatkan hilangnya hak untuk hidup dan hak atas kesehatan bagi setidaknya 326 anak di Indonesia," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, Sabtu (11/3/2023). 

Baca Juga

Komnas HAM berikutnya mendorong penanganan dan pemulihan korban secara komprehensif dalam rangka menjamin terpenuhinya standar kesehatan tertinggi. Keluarga korban pun harus dipastikan penanganan dan pemulihannya yang mengalami dampak psikologis dan dampak sosial ekonomi yang diakibatkan dari peristiwa ini.

"Penanganan dan pemulihan korban serta keluarga korban dapat dilakukan dengan memberikan akses terhadap rehabilitasi dan kompensasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," ujar Atnike. 

Komnas HAM juga meminta penguatan regulasi dan tata kelola kelembagaan terkait obat. Komnas HAM sepakat soal evaluasi menyeluruh sistem tata kelola pelayanan kesehatan dan kefarmasian, terutama berkaitan dengan surveilans kesehatan dan sistem pengawasan.

Selanjutnya, dilakukan penguatan terhadap tata kelola kelembagaan dan peningkatan kompetensi SDM instansi pemerintah yang memiliki otoritas terkait pelayanan kesehatan dan pengawasan kefarmasian. Hal ini mengingat kompleksitas persoalan kesehatan. 

"Maka diperlukan pengaturan secara khusus melalui Undang-Undang terhadap mandat dan kewenangan BPOM RI, perlu adanya regulasi yang secara khusus mengatur tentang sistem kefarmasian di Indonesia (RUU Kefarmasian)," ucap Atnike. 

Selain itu, Komnas HAM merekomendasikan regulasi khusus mengatur pengawasan terhadap proses produksi, distribusi, dan pemanfaatan senyawa kimia berbahaya dan beracun di Indonesia. Ini termasuk memastikan adanya mandat dan kewenangan yang jelas  dan terpadu antar instansi yang memiliki otoritas terkait.

"Menjamin ketidak-berulangan kasus serupa di kemudian hari," ujar Atnike. 

Komnas HAM juga memandang tidak relevannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular terutama terkait penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam permasalahan kesehatan. Salah satu substansi penting yaitu belum adanya pengaturan terkait kondisi darurat kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular sebagai KLB. 

"Untuk itu, perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan dimaksud," ujar Atnike. 

Rekomendasi ini didapat Komnas HAM setelah dilakukan pemantauan Situasi HAM, penerimaan pengaduan, pemantauan lapangan, permintaan keterangan (BPOM, Kementerian Kesehatan, Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, perusahaan dalam bidang industri farmasi, ahli kesehatan).

Dari data Komnas HAM kasus GGAPA pada anak di Indonesia sepanjang tahun 2022 sampai pada 5 Februari 2023 tercatat 326 kasus yang tersebar di 27 Provinsi. Adapun GGAPA disebabkan keracunan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam produk obat sirop. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement