Rabu 29 Mar 2023 17:20 WIB

Soal Data Impor Baju Unrecorded 31 Persen, Asosiasi Tekstil Mengaku Kurang Paham

Pasar domestik dipenuhi barang impor. Mulai dari benang, kain, hingga pakaian jadi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Petugas Bea Cukai memeriksa pakaian bekas saat rilis dan pemusnahan barang bukti hasil operasi penindakan Balepressed (Pakaian Bekas Ilegal) di Tempat Penimbunan Pabean (TPP) Bea Cukai Cikarang, Jawa Barat, Selasa (28/3/2023). Bea Cukai bekerja sama dengan Bareskrim Polri menyita 7.363 bal pakaian bekas (balepress) asal impor senilai lebih dari 80 miliar rupiah di wilayah Jabodetabek. Penindakan ini merupakan tindak lanjut arahan Presiden Republik Indonesia terkait penanganan peredaran pakaian bekas ilegal impor yang mengganggu industri tekstil dalam negeri.
Foto: Republika/Prayogi.
Petugas Bea Cukai memeriksa pakaian bekas saat rilis dan pemusnahan barang bukti hasil operasi penindakan Balepressed (Pakaian Bekas Ilegal) di Tempat Penimbunan Pabean (TPP) Bea Cukai Cikarang, Jawa Barat, Selasa (28/3/2023). Bea Cukai bekerja sama dengan Bareskrim Polri menyita 7.363 bal pakaian bekas (balepress) asal impor senilai lebih dari 80 miliar rupiah di wilayah Jabodetabek. Penindakan ini merupakan tindak lanjut arahan Presiden Republik Indonesia terkait penanganan peredaran pakaian bekas ilegal impor yang mengganggu industri tekstil dalam negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tengah gencar memberantas impor ilegal pakaian bekas. Aktivitas itu dinilai meresahkan, karena berdampak terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), industri, serta pasar Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dalam negeri.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pun mengatakan, data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebutkan, terdapat 31 persen impor pakaian dan alas kaki yang tidak tercatat atau unrecorded, termasuk pakaian bekas impor ilegal. Sementara impor pakaian dan alas kaki legal sebesar 41 persen.

Baca Juga

Saat dikonfirmasi ke API terkait data itu, Direktur Eksekutif API Danang Girindrawardana mengaku kurang paham soal sumber data tersebut. "Seperti saya sampaikan, saya kurang paham sumber data Mas Menteri Teten," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (29/3/2023).

Meski begitu ia mengatakan, persentase yang disampaikan Menkop mendekati benar. "Karena itu secara makro kita bisa komparasikan bagaimana dan apa namanya, work trade-nya bisa sejalan dengan itu," jelas dia.

Dirinya melanjutkan, mengenai jumlah nilai dari 31 persen itu harus dibandingkan, karena ada beberapa Harmonized System (HS) Code yang harus disusun dan digabung. Menurut Danang, HS Code tersebut bukan soal baju bekas melainkan tekstil.

Ia menyatakan, industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) memiliki banyak HS Code. "Kita nggak ngerti seberapa besar itu akan menjadi masalah buat industri kita, tapi jelas ini adalah impact masuknya barang-barang secara ilegal, karena kalau legal kita secara mudah bisa komparasikan karena kita tau betul HS Code-nya masing-masing," jelas Danang.

Sementara, lanjut dia, kalau impor ilegal asosiasi tidak mengerti, sebab baru diketahui saat sudah di pasaran. Sedangkan ketika sampai di pelabuhan tidak ada data barang masuknya.

Dana pun mengungkapkan, pasar domestik dipenuhi barang impor. Mulai dari benang, kain, hingga pakaian jadi.

Disebutkan, impor yang dilakukan disertai praktik under invoice dan pelarian HS. Itu membuat barang yang masuk 40 persen lebih banyak dari izin yang dikeluarkan tanpa pembayaran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh).

Ia menegaskan, barang impor yang masuk sudah menguasai lebih dari 50 persen konsumsi nasional Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). "Kondisi ini menyebabkan oversupply di pasar domestik dan over stok di sebagian besar industri TPT, sehingga harus mematikan lini produksinya, mengurangi jam kerja dan mengurangi karyawan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement