REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) berencana melakukan sertifikasi kepada muthowwif atau muthawif. Hal ini dilakukan menyusul program sertifikasi pembimbing manasik haji yang telah berjalan.
Menanggapi rencana itu, Ketua Umum Sekretariat Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (SAPUHI) Syam Resfiadi menyatakan dukungannya. Untuk pelaksanaan sertifikasi ini, ia menyebut Kemenag bisa melakukan kerja sama dengan otoritas Saudi.
"Kalau di luar negeri, ada yang namanya sertifikasi tour guide. Jadi tour guide adalah orang yang menemani tamunya selama perjalanan di lokasi tujuan. Hal ini mirip dengan muthowwif, yang juga menemani jamaah umrah selama di Tanah Suci," kata dia saat dihubungi Republika, Selasa (7/3/2023) malam.
Selama ini, muthowwif disebut bekerja dalam satu paket, mulai dari kedatangan hingga kepulangan. Langkah ini diambil untuk mendukung efisiensi dan efektivitas dari pelayanan mereka.
Dalam pekerjaannya, Syam menyebut muthowwif harus mengetahui tidak hanya seputar sejarah yang ada di dua kota suci Makkah dan Madinah, tapi mereka juga memberikan bimbingan ibadah kepada tiap jamaah yang ada dalam perjalanan tersebut.
"Fungsi sertifikasi ini ya nantinya agar mereka harus tahu, baik di Madinah dan Makkah, apa sejarah di kota masing-masing dan syariat ibadah umrah. Umrah ini kan pelaksanaannya di Makkah, tapi sebelumnya sudah ada ritual syariahnya," lanjut dia.
Sejauh ini, ia menyebut dari otoritas Arab Saudi belum ada wacana untuk melakukan sertifikasi bagi muthowwif. Jika Kemenag berkeinginan, hal ini harus dilakukan dengan kerja sama bersama pihak terkait.
Mengingat muthowwif ini kegiatannya di Saudi, Syam menyebut maka yang berhak mengeluarkan sertifikasi adalah Saudi. Indonesia bisa memberi akses atau kemudahan bagi mukimin, atau yang berada di sana dengan visa kerja, yang ingin menjadi muthowwif agar mendapatkan sertifikasi.
Ia menyebut para muthowwif ini biasanya tidak hanya melayani jamaah dari Indonesia, tapi juga dari wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura dan Brunei, yang bahasanya relatif sama.
"Pemerintah Indonesia kemungkinan harus mengikuti aturan main dari Saudi. Jangan juga mendahului Saudi, mau membuat sertifikasi dan prosesnya di Indonesia, sementara muthowwif-nya ada di Saudi," ucap Syam.