Kamis 18 May 2023 09:07 WIB

Ingin Mabrur? Perhatikan Etika Haji Menurut Imam Al Ghazali (Bagian 2-Habis)

Rasulullah SAW memerintahkan agar jamaah haji senantiasa berpenampilan sederhana.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Sebuah foto selebaran yang disediakan oleh Kementerian Haji dan Umrah Saudi menunjukkan jamaah haji mengenakan masker pelindung wajah, berdoa di Jabal al-Rahmah (Bukit Rahmat) pada Hari Arafah, sebagai bagian dari ritual penting ziarah haji tahunan di kota tenda Arafat, Arab Saudi, 19 Juli 2021. Ingin Mabrur? Perhatikan Etika Haji Menurut Imam Al-Ghazali (Bagian 2-Habis)
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap jamaah haji dari berbagai dunia saat ini tengah mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah haji 1444 H. Kerajaan Arab Saudi akan mulai menerima kedatangan jamaah dari seluruh dunia pada akhir Mei nanti.

Setiap jamaah tentu menginginkan haji yang mabrur, dengan balasan surga. Menurut Imam Al-Ghazali, setidaknya ada 10 adab atau etika yang harus diperhatikan oleh jamaah yang ingin meraih hal tersebut.

Baca Juga

Dilansir dari laman resmi PBNU, disampaikan ada tujuh etika yang relevan yang bisa diperhatikan oleh jamaah haji Indonesia yang hendak berangkat nanti.

Etika untuk Meraih Haji Mabrur

4. Menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki jika mampu

Menjelang wafat, Abdullah ibn ‘Abbâs pernah berpesan kepada putranya, “Wahai anak-anakku, tunaikanlah haji dengan berjalan kaki. Karena orang yang berhaji dengan berjalan kaki, setiap langkahnya dihitung sebagai tujuh ratus kebaikan dari kebaikan Tanah Haram.”

Terkait hal ini, bagi jamaah haji asal Indonesia sepertinya hal ini tidak mungkin. Hanya saja, hal ini masih bisa diusahakan ketika di Tanah Suci saat menunaikan rangkaian manasik atau pulang-pergi dari Makkah ke tempat wukuf, terutama lagi saat ke Mina.

Jika hendak ditambahkan, sunnah pula seorang jamaah haji berjalan setelah berihram. Bahkan, ada yang berpendapat hal itu merupakan salah satu cara menyempurnakan ibadah haji.

Kendati demikian, naik kendaraan saat menunaikan ibadah haji bukan pula termasuk hal yang tercela. Terlebih ada ulama yang mengatakan, “Naik kendaraan adalah lebih utama, karena di dalamnya ada nafkah dan biaya. Selain itu, naik kendaraan juga menjauhkan diri dari kelelahan, meminimalisir gangguan di perjalanan, lebih dekat kepada keselamatan, dan mendekatkan pada kesempurnaan ibadah haji.”

Dua pendapat ini disebut sama sekali tidak bertentangan. Siapa saja mudah berjalan kaki, maka lakukanlah dengan berjalan kaki dan itu adalah hal yang utama. Namun, ketika merasa tidak sanggup dan bila dilaksanakan akan mengakibatkan risiko buruk atau membatasi kesempatan amal ibadah, maka naik kendaraan adalah lebih baik.

5. Berpenampilan sederhana

Imam Al-Ghazali menyebut penampilan yang sederhana, jauh dari kesan bermewah-mewahan dan memperlihatkan kekayaan sangat disarankan selama berhaji. Jangan sampai orang lain melihatnya sebagai orang sombong dan berlebihan.

Rasulullah SAW memerintahkan agar jamaah haji senantiasa berpenampilan sederhana dan menyembunyikan kekayaan, serta melarang untuk bersenang-senang dan bermewah-mewahan. Demikian ini sebagaimana yang tertulis dalam HR ath-Thabrani.

Meski demikian, bukan berarti mereka boleh mengenakan pakaian compang-camping atau kotor. Sebab, Alquran sendiri dalam QS Al-Hajj ayat 29 memerintah mereka untuk membersihkan diri:

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ

Artinya, “Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran"

Calon jamaah haji diharap tetap berpenampilan layaknya akan menghadap Allah SWT. Mereka tetap harus menjaga kebersihan dan kerapihan diri dengan cara mencukur rambut, memotong kumis dan memotong kuku.

sumber : https://islam.nu.or.id/syariah/7-etika-calon-jamaah-haji-menurut-imam-al-ghazali-xOLNz
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement