REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di zaman penjajahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir dengan orang-orang (Indonesia) yang pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.
Belanda yang sedang menjajah masyarakat Nusantara (Indonesia) menyadari, umat Islam dari wilayah jajahannya yang pergi ke Makkah untuk berhaji akan melihat kesetaraan manusia. Saat ibadah haji, sudah tidak ada lagi kasta, warna kulit, ataupun jabatan. Hal itu membuat para jamaah haji dari berbagai belahan dunia menyadari bahwa semua orang itu memiliki hak yang sama.
Sehingga, Belanda khawatir masyarakat Muslim Nusantara yang pergi haji dapat memicu pemberontakan begitu sampai ke tanah kelahirannya karena menyadari semua orang itu memiliki hak yang sama.
Dalam buku Manajemen Haji dan Umrah: Mengelola Perjalanan Tamu Allah ke Tanah Suci yang ditulis Drs H Noor Hamid diterbitkan Semesta Aksara, 2023. Dijelaskan bahwa pada tahun 1825, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan ibadah haji. Dalam peraturan tersebut, jamaah haji dari Pulau Jawa diwajibkan membayar 110 gulden untuk mendapatkan izin berangkat haji dan harus berangkat dengan kapal Belanda. Bagi mereka yang tidak mengambil izin dari pemerintah kolonial Belanda maka akan dikenakan denda sebesar 1.000 Gulden.
Masih di tahun 1825, menjadi awal mula adanya monopoli keberangkatan haji yang menjadi kepentingan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Sebab, Belanda mulai mengetahui, setiap tahunnya jumlah jamaah haji makin bertambah banyak.
Kemudian pada tahun 1831, peraturan tentang ibadah haji diubah. Calon jamaah haji yang tidak membayar uang jalan ke Belanda akan dikenakan biaya dua kali lipat saat pulang lagi ke tanah kelahirannya (Indonesia), yakni denda sebesar 220 Gulden. Peraturan tersebut dibuat Belanda karena denda 1.000 gulden memang terlalu berat sehingga tidak ada jamaah haji yang mampu membayar dan angka yang ditetapkan juga terkesan berlebihan.
Pada tahun 1852, pemerintah kolonial Belanda kembali mengubah peraturan. Surat izin atau paspor haji masih diwajibkan, tapi biayanya gratis dan tidak ada denda pajak. Namun, gubernur pemerintah Belanda menginstruksikan pengawasan yang lebih ketat kepada para haji.
Gubernur Pesisir Barat Sumatra diharuskan mengawasi dengan bijaksana tindakan-tindakan para haji pada umumnya dan memberikan laporan yang telah berangkat ke Makkah atau yang telah kembali dari Makkah.
Pada tahun 1859, dibuat peraturan baru, yaitu paspor haji tetap gratis. Tapi calon jamaah haji harus membuktikan mereka punya biaya pulang-pergi dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan.
Di tahun ini muncul juga aturan yang mengharuskan jaamah haji yang pulang dari Makkah diuji terlebih dahulu oleh bupati, kepala daerah, atau petugas yang ditunjuk sebelum bisa memakai gelar dan atribut haji. Hanya yang lulus ujian tersebut yang bisa dipanggil sebagai haji atau memakai pakaian haji.
Perubahan kembali dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada 1902, yaitu ketentuan tentang ujian dalam pemakaian gelar dan pakaian haji dihapuskan. Hanya pengawasan terhadap para haji yang diperketat oleh pemerintah kolonial Belanda (www.boombastis.com, 2018).