REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan pada zaman apa Ka'bah dibangun. Di antaranya ada dua pendapat besar yang berkembang.
Ustadz Ahmad Sarwat dalam buku 2300 Konsultasi Fiqih menjelaskan pendapat Pertama, menurut pendapat ini ka'bah baru dibangun oleh nabi Ibrahim alaihissalam. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Katsir dengan landasan riwayat dari Ibnu Abbas ra, "Seandainya manusia tidak berhaji ke rumah ini (ka'bah), maka Allah tumbukkan langit dengan bumi."
Selain itu juga dengan dalil ayat-ayat berikut ini:
Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku." (QS. Al-Hajj: 26)
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. (QS. Ali Imran: 96-97)
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 127)
Pendapat kedua mengatakan bahwa ka'bah sudah berdiri jauh sebelum zaman nabi Ibrahim, yaitu sejak zaman nabi Adam alaihissalam. Bahkan ketika Adam turun ke muka bumi, Ka'bah sudah berdiri tegak dibangun oleh para malaikat. Ka'bah memang didirikan untuk Adam melakukan ibadah kepada Allah SWT di bumi.
Keterangan ini mereka dapat dari hadits dalam kitab Ad-Dalail yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari shahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu secara marfu'. Dan di dalamnya terkandung kisah tentang pembangunan Ka'bah di sejak masa nabi Adam. Namun secara sanad, periwayatan haditsi ini secara sendirian lemah (dhaif).
Maka hadits ini dikuat dengan riwayat dari jalur lainnya, yaitu apa yang diriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas ra. sebagaimana yang ada pada Al-Azraqi, Abu Syaikh dan Ibnu Asakir. Pendapat ini manqul dari Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi dan 'Atho dan lainnya. Az-Zarqani merajihkan hadits-haditsnya sebagaimana beliau tulis dalam kitab syarahnya pada kitab Al-Muwaththa'. Di sana beliau menuliskan, "Semua riwayat ini saling menguatkan satu dengan yang lainnya."
Terkait hajar aswad yang berada di dalam kakbah, bahwa Hajar Aswad berarti batu hitam. Batu itu kini ada di salah satu sudut kakbah yang mulia yaitu di sebelah tenggaradan menjadi tempat mulai dan berakhirnya ibadah tawaf di sekeliling kakbah.
Diletakkan dalam bingkai dan pada posisi 1,5 meter dari atas permukaan tanah. Batu yang berbentuk bulat telur dengan warna hitam kemerah-merahan. Di dalamnya ada titik-titik merah campur kuning sebanyak 30 buah. Dibingkai dengan perak setebal 10 sentimeter buatan Abdullah bin Zubair, seorang shahabat Rasulullah SAW.
Batu ini asalnya dari surga sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sejumlah ulama hadis.
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Hajar Aswad turun dari surga berwarna lebih putih dari susu lalu berubah warnanya jadi hitam akibat dosa-dosa bani Adam." (HR. Timirzi, An-Nasa`I, Ahmad, Ibnu Khuzaemah dan Al-Baihaqi).
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersada, ”Demi Allah, Allah akan membangkit hajar Aswad ini pada hari qiyamat dengan memiliki dua mata yang dapat melihat dan lidah yang dapat berbicara. Dia akan memberikan kesaksian kepada siapa yang pernah mengusapnya dengan hak.” (HR. Tirmizy, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, At-Tabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Asbahani).
At-Tirmizi mengatakan bahwa hadits ini hadits hasan. Sedangkan Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalam kitab Shahihul Jami` no. 2180, 5222 dan 6975.
Dari Abdullah bin Amru berkata, ”Malaikat Jibril telah membawa Hajar Aswad dari surga lalu meletakkannya di tempat yang kamu lihat sekarang ini. Kamu tetap akan berada dalam kebaikan selama Hajar Aswad itu ada. Nikmatilah batu itu selama kamu masih mampu menikmatinya. Karena akan tiba saat di mana Jibril datang kembali untuk membawa batu tersebut ke tempat semula.” (HR. Al-Azraqy).
Bagaimanapun juga Hajarul Aswad adalah batu biasa, meskipun banyak kaum muslimin yang menciumnya atau menyentuhnya, hal tersebut hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Umar bin Al-Khattab berkata, “Demi Allah, aku benar-benar mengetahui bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberi madharat maupun manfaat. Kalalulah aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu aku pun tidak akan melakukannya.”