REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, para ulama berbeda pendapat tentang orang yang paling utama menjadi imam. Menurut Imam Malik, yang paling utama menjadi imam adalah orang yang paling menguasai pengetahuan ilmu agama dan bukan orang yang paling pandai membaca di antara mereka.
Adapun Imam Syafii cenderung pada pendapat bahwa yang paling utama menjadi imam adalah orang yang menguasai ilmu pengetahuan. Namun menurut Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, dan Imam Ahmad, yang lebih utama menjadi imam adalah orang yang paling pandai membaca di antara mereka.
Silang pendapat tersebut karena adanya perbedaan pemahaman terhadap sabda Nabi Muhammad SAW, "Yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca. Jika dalam bacaan mereka sama, maka yang paling banyak pengetahuannya tentang sunnah di antara mereka. Jika pengetahuan mereka tentang sunnah sama, maka yang paling terdahulu hijrahnya di antara mereka.
Dan jika hijrah mereka sama, maka yang paling dahulu masuk Islam di antara mereka. Dan janganlah seorang menjadi imam orang lain di tempat kekeuasaan orang lain tersebut, dan janganlah ia duduk di rumahnya di tempat kehormatannya kecuali dengan izinnya."
Hadits ini telah disepakati kesahihannya tetapi para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Di antara mereka ada yang memahami hadits tersebut secara lahiriah, yakni Imam Abu Hanifah. Dan ada yang memahami bahwa yang dimaksud dengan orang yang pandai membaca ialah orang yang menguasai pengetahuan agama.
Karena dalam masalah yang menyangkut imam itu lebih membutuhkan orang yang menguasai pengetahuan agama daripada orang yang pandai membaca. Lagi pula pada zaman dahulu sahabat-sahabat yang menguasai ilmu agama sekaligus mereka juga pandai membaca. Berbeda dengan orang-orang di zaman sekarang.
Imam anak kecil
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum imam anak kecil yang berusia baligh tetapi ia pandai membaca. Ada sebagian ulama yang memperbolehkannya. Hal ini berdasarkan hadits Amr bin Salamah yang menyatakan bahwa ketika masih anak-ana ia pernah menjadi imam kaumnya.
Ada sebagian ulama yang melarangnya secara mutlak. Dan ada sebagian ulama yang memperbolehkannya hanya untuk sholat sunnah, bukan untuk sholat fardhu. Inilah pendapat yang dikutip dari Imam Malik.
Silang pendapat dalam masalah ini bertolak dari persoalan apakah seseorang yang boleh menjadi imam dalam sholat yang tidak wajib ia boleh menjadi imam dalam sholat yang wajib. Hal itu karena menyakut perbedaan niat imam dan makmum.