Selasa 24 Oct 2023 17:31 WIB

Pandangan Tokoh Muhammadiyah dan NU Soal Ketatnya Syarat Istitha'ah Kesehatan Haji

Pengetatan istithaah kesehatan juga dimaksudkan untuk menekan angka kematian.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Jamaah haji lansia berkebutuhan khusus yang menggunakan kursi roda di bus shalawat dibantu dan dipastikan melaksanakan umroh wajib di Masjidil Haram. Ahad (17/6/2023)
Foto: Dok PPIH Arab Saudi.
Jamaah haji lansia berkebutuhan khusus yang menggunakan kursi roda di bus shalawat dibantu dan dipastikan melaksanakan umroh wajib di Masjidil Haram. Ahad (17/6/2023)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat seorang Muslim ingin melaksanakan ibadah haji, hal pertama yang disyaratkan adalah kemampuan atau istitha'ah. Tidak hanya mampu secara finansial, hal ini juga mengacu pada kesehatan yang bersangkutan.

Untuk alasan tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan akan memperketat pemeriksaan kesehatan calon jamaah (calhaj) sebelum melakukan pelunasan. Upaya ini juga dimaksudkan untuk menekan angka kematian.

Baca Juga

Perihal istitha'ah ini juga menjadi fokus utama dalam kegiatan Mudzakarah Perhajian Indonesia 2023. Sejumlah tokoh ikut bersuara dan memberikan pendapat terkait hal tersebut.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agus Taufiqurrahman menyampaikan, jika seorang calhaj tidak memenuhi batasan minimal pemeriksaan aktivitas rutin kesehariannya (activity daily living) atau diketahui memiliki gangguan demensia berat, maka ia tidak harus melakukan pelunasan biaya haji.

"Jika keberangkatan haji memberikan pengaruh memburuknya kesehatan seseorang, maka tidak perlu bagi calon jamaah itu untuk melunasi biaya haji. Kalau tetap berangkat menjalankan ibadah haji, akan lebih membahayakan kondisinya," ujar dia dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (24/10/2023).

Menurut dia, kelompok-kelompok ini sejak awal seharusnya tidak diberi kesempatan untuk membayar biaya haji. Mereka diminta lebih fokus terhadap perawatan diri dan pengobatan.

Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu juga menyebut calhaj yang demikian ini tergolong dalam kelompok yang memang tidak masuk kriteria istitha'ah haji. Di antaranya adalah mereka yang memiliki kondisi penyakit yang kronis, seperti kanker stadium akhir, TBC resisten seluruh obat, HIV/AIDS, strok dengan pendarahan yang luas, hingga gangguan skizofrenia berat.

Selain kelompok tersebut, Agus juga menyampaikan ada tiga kategori lain terkait istitha'ah seorang jamaah. Mereka adalah calhaj yang memang memenuhi istitha'ah menjadi jamaah haji, calhaj yang istitha'ah tetapi harus dengan pendampingan, serta calhaj tidak istitha'ah untuk sementara waktu.

Kedua kategori terakhir itu, menurutnya, bisa diberangkatkan ketika sudah terpenuhi. Jamaah yang demikian diberi kesempatan melakukan pembayaran biaya ibadah haji.

"Tentu masyarakat harus mengetahui ini sehingga mempersiapkan fisik dengan baik, mempersiapkan mental dengan baik, di samping mempersiapkan biaya haji yang menjadi bagian kriteria istitha'ah," kata dokter spesialis saraf tersebut.

Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga tokoh NU KH Abdul Moqsith Ghazali menyampaikan istitha'ah merupakan syarat dalam ibadah haji. Bahkan, tidak ada aktivitas ibadah di dalam Islam yang mempersyaratkan istitha'ah di dalam pelaksanaannya, selain ibadah haji.

"Karena itu, seluruh calon jamaah haji yang mau berangkat haji harus memiliki persyaratan mampu untuk melaksanakan ibadah haji," ujar dia.

Senada dengan pernyataan tersebut, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Abdul Rauf Muhammad Amin juga menegaskan istitha'ah harus sempurna. Karenanya, ia menegaskan pengetatan dalam hal ini bukanlah sebuah masalah.

"Masalah administrasi mensyaratkan harus kesehatan sempurna itu tidak apa-apa," ujar Abdul Rauf.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement