Selasa 30 Apr 2024 16:39 WIB

Ibadah Haji di Masa Kerajaan Banten Ternyata Berhubungan Baik dengan Amir Makkah

Sultan Makkah memberi gelar kepada Raja Banten dan putranya.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Jamaah haji Indonesia di tanah suci tempo dulu.
Foto: gahetna.cl
Jamaah haji Indonesia di tanah suci tempo dulu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedatangan Belanda ke Nusantara (Indonesia) dimulai dengan datangnya rombongan penjelajah yang dipimpin Cornelis de Houtman pada tahun 1596 di Banten.

Cornelis de Houtman adalah seorang penjelajah Belanda yang menemukan jalur pelayaran dari Eropa ke Indonesia dan berhasil memulai perdagangan rempah-rempah di Belanda. Kedatangan Cornelis de Houtman, disusul kedatangan kongsi dagang VOC pada 1602.

Baca Juga

Berdasarkan Hikayat Hasanuddin yang merupakan terjemahan bebas dari Hikayat Banten Rante-Rante yang ditulis pada 1662, 1663 dan Sejarah Banten menyebutkan dua orang penguasa kerajaan Islam di Nusantara, yaitu Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) dari Cirebon dan putranya Maulana Hasanuddin yang merupakan Sultan Banten sempat menunaikan ibadah haji bersama.

Dilansir dari buku Sejarah Ibadah Haji Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan BPKH tahun 2023. Dijelaskan perjalanan ibadah haji bagi kalangan kerajaan tidak hanya semata untuk menunaikan kewajiban agama Islam, kesempatan itu juga dilakukan sebagai misi diplomatik.

Pada masa itu, Sunan Gunung Jati dan putranya Maulana Hasanuddin berupaya mendapat pengakuan dari Amir Makkah serta menjalin persahabatan ke negara-negara yang disinggahi.

Berdasarkan naskah sejarah Banten, pada abad ke-17 Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan utusan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain.

Dalam naskah Babad Banten diceritakan, suatu ketika Raja Banten Keempat, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1624-1651) mengirimkan utusannya kepada Sultan Makkah. Para utusan dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja membawa tiga buah buku, yaitu markum, mumtahi dan wujudiah untuk ditanyakan artinya.

Selanjutnya...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement