REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya penawaran visa nonhaji kepada masyarakat yang ingin ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji patut diwaspadai. Sebab, menurut Juru Bicara Kementerian Agama Anna Hasbie penarawan tersebut rentan penipuan. Apalagi risiko yang ditanggung jika terbukti jamaah berangkat memakai visa non haji sangat besar.
"Ingat, risiko yang ditanggung besar. Selain tidak bisa beribadah haji dan adanya kerugian materi, jika sampai dideportasi, jamaah tidak bisa masuk ke Saudi hingga 10 tahun ke depan. Jadi, selain tidak bisa berhaji, juga tidak bisa umrah selama 10 tahun," kata Anna di Jakarta, Ahad (5/5/2024).
Anna mengatakan, tahap pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 2024 sudah ditutup. Kuota jamaah pun sudah terpenuhi.
"Saat ini tengah dilakukan proses penerbitan visa jamaah," ucap Anna.
Sampai akhir pekan lalu, sudah lebih dari 195 ribu visa jamaah haji reguler yang sudah terbit. Hal sama juga untuk jamaah haji khusus, sudah memasuki tahap penerbitan visa jamaah.
Jamaah haji reguler akan mulai berangkat ke Arab Saudi pada 12 Mei 2024. Sementara jamaah haji khusus akan mulai terbang ke Tanah Suci pada 23 Mei 2024.
"Kami memahami antusiasme masyarakat untuk beribadah haji. Tapi publik juga jangan sampai tertipu oleh oknum yang ingin memanfaatkan kesempatan dengan menjanjikan keberangkatan dengan visa non haji," ujar Anna.
Pada 2023, Anna menyebut banyak kasus jamaah haji Indonesia yang akhirnya dideportasi karena kedapatan datang menggunakan visa non haji. "Tahun lalu banyak kasus jamaah yang akhirnya dideportasi setibanya di Arab Saudi," ucap Anna.
Karena itu Kementerian Haji dan Umrah Saudi mengajak Kemenag bekerja sama lebih erat, detail dan komprehensif untuk menjaga jangan sampai ada korban jamaah yang dirugikan.