REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jamaah haji Indonesia berangsur-angsur tiba di Tanah Suci. Mereka adalah tamu-tamu Allah SWT yang diberi kemampuan dan kesempatan sehingga bisa menunaikan ibadah haji tahun ini.
Bagi seorang Muslim yang telah memiliki kemampuan berhaji wajib hukumnya untuk menunaikan. Baik itu mampu dalam biaya haji, mampu dalam kesehatannya menunaikan ibadah haji, serta masih menyisakan harta untuk keluarga yang ditinggalkan.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bagaimana mengerikannya ancaman terhadap orang yang sudah mampu berhaji dan tidak memiliki hambatan berhaji namun ia justru tidak berhaji. Ini dapat ditemukan dalam kitab at Targib wat Tarhib.
قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ تَحْبِسْهُ حَاجَةٌ ظَاهِرَةٌ أَوْمَرَضٌ حَابِسٌ أَوْسُلْطَانٌ جَائِرٌ وَلَمْ يَحُجَّ فَلْيَمُتْ اِنْ شَاءَ يَهُوْدِيًّاوَاِنْ شَاءَ نَصْرَانِيًّا.
Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa tidak menghalanginya hajat yang nyata atau sakit yang bisa mencegah atau karena pemimpin yang zalim lalu ia tidak berhaji maka silakan ia mati dalam keadaan Yahudi atau jika Nasrani. (HR Baihaqi)
Yang dimaksud pemimpin yang zalim itu bila pemerintah itu melarang haji bukan karena kedaruratan. Seperti pada masa kolonial Belanda, umat Muslim di Nusantara dilarang berhaji oleh Belanda sebagai siasat politik untuk memutus hubungan dengan negara-negara lain di Timur Tengah. Maka, pelarangan Belanda terhadap pelaksanaan ibadah haji termasuk perbuatan zalim.