Kamis 14 Sep 2023 14:19 WIB

Catatan Komnas Haji Soal Istithaah Sementara dan Permanen

Komnas haji menjelaskan kemenag harus membuat persiapan haji yang lebih baik.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Erdy Nasrul
Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dan Umrah, Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Foto: Republika/Idealisa Masyrafina
Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dan Umrah, Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rakernas Evaluasi Penyelenggaran Haji 1444 H/ 2023 M merekomendasikan jamaah yang tidak istithaah akan dibagi dalam dua kategori. Yakni, tidak istithaah sementara dan tidak istithaah tetap atau permanen. 

Ketua Komnas Haji dan Umroh Mustolih Siradj memberi catatan terkait hal tersebut. Ia mengatakan, pada prinsipnya menyangkut persyaratan kesehatan itu menjadi terobosan baru bagi Kementerian Agama (Kemenag) untuk melakukan skrining calon jamaah haji yang memang betul-betul siap secara jasmani dan rohani. Karena kesehatan di sini mencakup syarat kesehatan secara jasmaniah dan rohaniah. Ini sangat baik untuk keselamatan jamaah haji.

Baca Juga

"Tapi, saya punya catatan program Kementerian Agama ini atau pemikiran dari rakernas evaluasi penyelenggaraan haji ini, saya kira ini hanya bertumpuk di level hilir," kata Mustolih saat diwawancarai Republika.co.id, Kamis (14/9/2023).

Mustolih menerangkan, calon jamaah haji yang diskrining yang memang nomor porsinya berangkat pada tahun itu. Seharusnya terkait hal ini juga ada pemikiran bagaimana di hulunya. Di hulu itu, tes kesehatan dan usia.

"Saya kira menjadi syarat untuk mereka mendaftar haji ketika pertama kali mendapatkan nomor porsi khususnya bagi usia-usia yang berada di level 65 tahun ke atas, mereka yang baru mendaftar itu perlu juga menyertakan riwayat kesehatan," ujar Mustolih.

Ia menerangkan, kalau yang disampaikan Kemenag itu menyangkut istithaah kesehatan ketika akan menjadi calon jamaah haji atau pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) itu adalah di level hilir. Tapi, hulunya juga perlu dicermati supaya calon jamaah haji yang mendaftar di usia-usia yang sudah uzur juga tidak diberi harapan. Supaya mereka tidak merasa daftar haji maka pasti akan berangkat. Maka perlu ada aturan di level hulu.

"Ketika jamaah haji mau melakukan pelunasan dites kesehatan terlebih dahulu, apakah semua jamaah haji itu satu per satu akan dites atau berdasarkan usia, tes kesehatannya juga mesti harus simpel dan sederhana sehingga kemudian mereka yang sudah lanjut usia juga tidak kerepotan," ujar Mustolih.

Mustolih menambahkan, terlebih calon jamaah haji yang berasal dari daerah-daerah. Lokasi tes kesehatannya jauh sehingga memakan waktu lama dan mendannya sulit. Maka hal ini perlu dipertimbangkan.

Kemudian soal biaya, kata Mustolih, siapa yang akan memikul biaya dari tes kesehatan tersebut. 

Ia mengatakan, jika calon jamaah haji yang katakanlah lanjut usia atau masih usianya muda dinyatakan terhalang istithaah permanen. Dinyatakan kanker stadium empat sehingga tidak istithaah secara permanen. Maka apa jalan keluarnya, ingat bahwa jamaah haji itu sudah mendaftar dan sudah antre puluhan tahun. Bagaimana dengan uang yang sudah dia setorkan, apakah dikembalikan apakah utuh ataukah ada potongan.

"Kemudian bagaimana dengan imbal hasil atau nilai tambah yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), ini hal-hal yang harus dipikirkan supaya tuntas supaya orang kalau dinyatakan tidak istithaah secara permanen apa selanjutnya, apakah ini berlaku untuk jamaah haji reguler atau jamaah haji khusus," ujarnya.

Terkait calon jamaah haji khusus, Mustolih mengatakan, jika tidak istithaah akan dikembalikan dana setoran awalnya atau bagaimana. Berapa lama pengembaliannya sehingga hal-hal teknis semacam ini meski dipikirkan oleh Kemenag.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement