Kamis 16 Sep 2021 16:17 WIB

Mengapa Allah SWT Disebut Ahad dan Bukan Wahid?

Kata Ahad dalam bahasa tidak bisa mendapat imbuhan huruf lain

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Kata Ahad dalam bahasa tidak bisa mendapat imbuhan huruf lain. Surat Al Ikhlas
Foto: Republika/ Nashih Nashrullah
Kata Ahad dalam bahasa tidak bisa mendapat imbuhan huruf lain. Surat Al Ikhlas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Banyak orang bertanya-tanya tentang mengapa Allah SWT menjelaskan tentang dzat-Nya dengan kata ahad dan bukan bukan dengan kata wahid sebagaimana dalam surat Al Ikhlas ayat 1. Apa sebenarnya perbedaan ahad dan wahid?  

Para ulama menjelaskan tentang bilangan dalam Alquran dapat berarti menjelaskan tentang dzat bilangan atau tentang pensifatan bilangan. 

Baca Juga

Bilangannya satu maka adanya pensifatannya  satu, bilangannya dua berarti pensifatannya adanya dua, bilangannya tiga maka pensifatannya  tiga, bilangannya empat pensifatannya empat. Maka bilangan itu bisa digabung tetapi pensifatannya tidak bisa digabungkan. Firman Allah SWT dalam Alquran surat Al Ikhlas ayat 1: 

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Katakanlah Muhammad, Allah itu Ahad (yang Maha-Esa).

Lafaz ahad (berarti Esa) karena pensifatan, maka tidak mungkin adanya kumpulan bilangannya. Maka jika dikatakan wahid (yang berarti satu) akan memungkinkan adanya tuhan selain Allah SWT. Sedang tidak ada tuhan kecuali Allah SWT. 

Di antara perbedaan lafaz ahad dan wahid adalah bahwa wahid itu yang dapat menerima adanya penambahan, sedangkan ahad tidak mungkin menerima adanya itu semua atau adanya penambahan.

Misalnya ketika dikatakan si fulan masuk dan satu (wahid) orang tidak berdiri untuknya, maka persoalannya tidak berhenti disitu sebab ada peluang untuk mengatakan ada dua (itsnani) orang yang tidak berdiri untuknya.  

Ulama Kholid Al Junaidi menjelaskan bahwa bilangan dalam Alquran itu datang dengan empat cara yaitu yang pertama untuk menunjukan hukum syar'i. Kedua untuk menceritakan kisah-kisah dalam Alquran. Ketiga untuk menceritakan tentang perkara-perkara gaib, dan keempat untuk mengimbau melakukan atau meninggalkan sesuatu.  

Kholid memperjelas tentang bilangan dalam Alquran menunjukan hukum syar'i sebagaimana firman Allah:  

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ "...Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna …” (QS Al Baqarah 196)  

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا “...Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur...” (QS Mujadilah ayat 4). 

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ  “..maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…” (QS An Nisa ayat 3). 

Sedang bilangan dalam Alquran menunjukan untuk menceritakan kisah-kisah dalam Alquran sebagaimana firman Allah:  

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS Al Kahfi 25). 

Sedang bilangan dalam Alquran menunjukan  untuk menceritakan tentang perkara-perkara ghaib, sebagaimana firman Allah SWT: 

الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat...”(QS Al Fatir ayat 1). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement