Senin 18 Sep 2023 18:43 WIB

Pengamat: Kebijakan Istithaah Sementara dan Permanen Harus Disertai Solusi

Penetapan istithaah jamaah haji harus diperkuat oleh Fatwa MUI.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Erdy Nasrul
Ketua Rabithah Haji Indonesia, Ade Marfuddin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rakernas Evaluasi Penyelenggaran Haji 1444 H/ 2023 M merekomendasikan penyempurnaan redaksi berita acara penetapan istithaah kesehatan jamaah haji. Jamaah yang tidak istithaah akan dibagi dalam dua kategori, tidak istithaah sementara dan tidak istithaah tetap atau permanen. 

Pengamat Haji dan Umroh Indonesia, Ade Marfuddin menanggapi hasil rekomendasi Rakernas Evaluasi Penyelenggaran Haji 2023. Menurutnya, penetapan istithaah jamaah haji harus diperkuat oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan solusi agar masyarakat bisa lebih memahami.

Baca Juga

Ade mengatakan, orang yang dinyatakan tidak istithaah sementara misalnya dia lumpuh. Sehingga merasa dirinya akan minim dalam beribadah dan tidak akan maksimal saat berangkat haji. Maka dia membatalkan untuk berangkat haji karena secara medis orang tersebut tidak layak berangkat karena lumpuh kakinya dua-duanya. Tapi ternyata dalam beberapa bulan kemudian dia sehat dan kakinya sudah sembuh, maka dia istithaah.

Ia menjelaskan, mengenai istithaah permanen atau tetap, mungkin maksudnya bagi orang yang sudah divonis cuci darah rutin karena ginjalnya sudah rusak. "Ini harus berdasarkan diagnosis dokter, jadi istithaah permanen ataupun sementara harus berdasarkan diagnosis dokter kemudian dikuatkan oleh Fatwa MUI," kata Ade saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Jika dokter tiba-tiba mengatakan kepada calon jamaah haji tidak sehat permanen atau tidak istithaah permanen, tentu orang tersebut akan protes. Maka, orang yang tidak istithaah permanen dari sisi medis sehingga tidak layak untuk berangkat berhaji itu harus diperkuat oleh Fatwa MUI. Jadi dinyatakan bahwa secara medis dan hukum tidak layak berangkat untuk haji.

"Keputusan itu harus diterima dan tapi harus ada solusinya, apa solusinya? Yaitu badal haji," ujar Ade.

Karena calon jamaah haji sudah menitipkan uang di Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), maka uangnya di BPKH ditawarkan, apakah mau dibadalkan oleh petugas haji atau oleh lembaga terkait di Kementerian Agama.

Menurutnya, penjelasan terkait solusi bagi yang tidak istithaah permanen itu harus jelas. Jangan sampai calon jamaah haji sudah menabung dalam waktu yang lama sambil menunggu antrean. Sementara di akhir penantian tidak ada solusi tapi malah divonis tidak istithaah permanen.

"Maka bisa juga solusinya (bagi yang tidak istithaah permanen) dibatalkan oleh keluarga, solusinya kalau diwariskan ke anaknya bisa atau tidak, apakah ada di peraturannya untuk diwariskan ke anaknya atau keluarganya, kalau itu tidak bertentangan dengan aturan dan undang-undang maka bisa saja, sehingga anaknya bisa membadalkan orang tuanya," jelas Ade.

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement