REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yeyen Rostiyani
Jamaah haji Indonesia mulai pulang ke Tanah Air. Wajah-wajah lelah menghiasi Bandara King Abdulaziz Jeddah, Arab Saudi. Namun, mereka terlihat lebih tenang. “Senang, bisa pulang. Bisa kumpul lagi dengan keluarga,” kata Uyun (45 tahun) kepada Republika.
Ada salah satu pengalaman berkesan warga Jakarta Utara ini saat berada di Muzdalifah. “Kita digubrak-gubrak di Muzdalifah,” katanya, mungkin mengacu pada proses mabit kemudian diburu-buru untuk segera berangkat ke Mina.
Adakah rasa kesal saat diburu-buru? Uyun malah tersenyum. “Nggaklah... Kan, harus ada pengorbanan dulu,” ujarnya.
Ia pun menuturkan pengalaman ketika bersimpuh di hadapan Ka’bah yang membuatnya merasa takjub. Karena itu, meski baru berapa langkah saja ia meninggalkan Tanah Haram, rasa rindu sudah memanggilnya. “Iyalah, ada rasa kangen (Ka’bah --Red). Kapan lagi bisa ke sini, ya?” tanyanya.
Uyun akan segera pulang ke Indonesia dan meninggalkan Tanah Haram di belakangnya. Namun, kedatangannya ke Rumah Allah telah menumbuhkan tekad untuk melakukan perubahan. “Ya, saya harus jadi lebih baik,” katanya.
Kesan kuat juga dirasakan Ahmad (58) yang menggunakan uang pensiunannya untuk membiayai hajinya bersama istri. “Senang rasanya bisa berhaji. Rasanya ingin kembali kalau Allah mengizinkan,” katanya dengan wajah dihiasi senyum.
Selama berhaji, Ahmad mengaku pengalamannya selalu menyenangkan. Makanan pun dirasanya amat berkecukupan.
“Saya sempat menangis depan Ka’bah. Apa bisa, ya kembali lagi ke sini?” tanyanya. Hanya dalam hitungan jam, burung besi akan menjauhkannya dari Tanah Haram.
Ia akan kembali mendarat di Jakarta dan bertemu kembali dengan keluarga dan teman. Ia pun mengaku mempunyai oleh-oleh yang akan dibawanya ke Tanah Air. Bukan materi, melainkan pribadi yang lebih baik.
“Dari cara kita bicara, cara bertindak, semua harus lebih baik. Kita menghargai yang di bawah dan menghormati yang di atas,” kata Ahmad. Adakah niatnya untuk menyandang gelar haji di depan namanya? Ahmad tersenyum.
“Nggak usahlah pakai gelar haji. Menjadi haji kan bukan sekadar pakai peci putih, tapi lebih kepada hati dan pikiran kita,” ujarnya.
Semangat menjadi diri yang lebih baik tak hanya di hati Uyun dan Ahmad. Jamaah lain pun merasakan semangat serupa yang berpadu rasa rindu pada Tamah Haram yang mereka tinggalkan.
Tanah Haram tak lagi bermakna satu titik dalam peta geografis. Bagi mereka Tanah Haram akan selalu ada dalam hati, dibawa ke manapun mereka pergi. Itulah Tanah haram yang selalu memanggil mereka untuk kembali.