REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaky Al Hamzah
Akibatnya, majmuah memprioritaskan untuk menempatkan jamaah haji asal negara-negara ini dan menempatkan 20 persen jamaah haji Indonesia gelombang pertama di pemondokan di luar markaziyah. "Ini fakta lapangan dan ini sudah kita konfirmasi ke pihak terkait," ungkap Sri Ilham Lubis.
Persoalan lain adalah kesulitan penerbitan surat rekomendasi atau perizinaan (Tasrekh) oleh pihak Baladiyah (lembaga yang memberi izin operasional).
Salah satunya, belum keluarnya surat izin atau Tasrekh kepada pemilik hotel yang memiliki kapasitas kamar hingga 45 ribu jamaah. "Sampai saat ini, Tasrekhnya belum keluar," jelas Sri Ilham Lubis.
Kondisi-kondisi tersebut di atas, lanjutnya, yang menyebabkan sembilan majmuah dalam posisi sulit dan terpaksa menempatkan 17 ribu jamaah haji Indonesia di pemondokan di luar Markaziyah. "Hal-hal ini yang menyebabkan kondisi kita dipaksakan dengan kondisi saat ini," paparnya.
Kemenag memberikan solusi sementara atau awal dari PPIH Daker Madinah. Solusinya yakni menyediakan tambahan bus antar jemput bagi para jamaah haji dari dan menuju Masjid Nabawi. Belasan ribu jamaah haji ini juga mendapatkan pasokan katering lebih awal.
Kemenag, jelas Sri Ilham Lubis, bertekad tidak akan mengulangi peristiwa memalukan ini. Apalagi tahun depan, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi sudah menerapkan sepenuhnya sistem E-hajj dan sistem pemondokan dilakukan dengan sewa musiman.
"Tahun ini adalah (masa) terakhir kontrak dengan majmuah. Tahun depan sudah tidak bisa lagi," jelas Sri seraya menambahkan, agar kejadian wanprestasi kontrak tidak terjadi, pihaknya akan lebih fleksibel memilih hotel.
Salah satunya melakukan survei harga supaya betul-betul lebih akurat lagi. Hasil survei itu selanjutnya disampaikan ke pimpinan Kemenag.