REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaky Al Hamzah
Salah satu prasyarat yang dibutuhkan JCI, ujar Fidiansjah, adalah pelayanan terpadu dan terintegrasi dengan area kerja PPHI Daker masing-masing, seperti BPHI Daker Jeddah harus satu area atau terintegrasi dengan lokasi kerja petugas PPIH Daker Jeddah. "Satu atap atau satu area, sehingga tidak terpisah-pisah," katanya.
Kemudian, syarat kedua, lokasi yang menjadi kantor integrasi tersebut harus dekat dengan bandara, baik Bandara Jeddah maupun Bandara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz, Madinah.
"Pemilihan transit mendekat ke bandara, tujuannya agar evakuasi dan pengiriman obat atau petugas yang menangani jamaah sakit parah berjalan cepat. Karena semua penangan pengobatan jamaah haji, terutama yang parah, membutuhkan waktu cepat dan akses mudah," terangnya.
Dia mencontohkan keberadaan kompleks Gedung Madinatul Hujjaj saat awal dididirikan hingga awal tahun 1980-an yang terintegrasi antara kantor PPIH Daker Jeddah, BPHI Jeddah dan Bandara Jeddah yang lama.
Namun, sekitar awal 1980-an, Bandara Jeddah dipindah, sehingga keberadaan Madinatul Hujjaj menjadi terpisah sekitar satu km dari bandara baru.
Sedangkan, BPHI Daker Madinah juga masih terpisah dengan Kantor Misi Haji Indonesia atau PPIH Daker Madinah di Madinah. Meski bisa dilalui dengan berjalan kaki berjarak sekitar 30 menit, namun lokasi kedua gedung terpisah oleh dua jalur jalan raya.
Bila menggunakan mobil ambulans, harus memutar menuju kompleks Masjid Nabawi. Jarak gedung BPHI Madinah dengan kompleks pemondokan/hotel jamaah haji Indonesia di area Markaziah juga relatif jauh jika berjalan kaki.
Jika menggunakan mobil ambulans saat terjadi kondisi mendadak/darurat, dibutuhkan waktu sekitar 30-40 menit untuk tiba di BPHI dari pemondokan terluar atau dekat jalan raya di area Markaziah (dekat Masjid Nabawi).
Fidiansjah mengaku pihaknya sudah menyampaikan semua persoalan di atas kepada Pemerintah Kerajaan Arab Saudi melalui PPIH Indonesia di Arab Saudi.