REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: EH Ismail dari Tanah Suci
MADINAH -- Hari hampir Maghrib saat saya dan tim Media Center Haji (MCH) di Madinah memutuskan untuk meninggalkan Masjid Quba. Penjelasan Syeikh Thalal Al-Harby mengenai keistimewaan shalat di Masjid Quba masih menggema di telinga saya.
Mudah-mudahan saya dan teman-teman benar-benar bisa mendapatkan pahala umrah seperti dijelaskan pengurus masjid yang pertama kali dibangun Rasulullah tersebut.
Belum sempat mengambil sandal yang saya simpan di rak khusus dekat pintu masuk masjid, saya melihat Bambang Rakhmanto, Wusana Bayu Pamungkas, dan Sunu Hastoro, rekan satu tim MCH, sedang berbincang dengan pria berbadan sedang dan tinggi rata-rata orang Indonesia.
Saya pun mendekat. Benar, ternyata orang itu adalah pria asal Desa Kreo, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Namanya Surtina bin Kasduh. Saat kedua kawan saya selesai melakukan wawancara, perbincangan saya dan Surtina tetap berlanjut sampai pelataran parkir.
Surtina sudah 14 tahun tinggal di Madinah. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota Nabi, dia berprofesi sebagai pedagang kurma di Pasar Kurma Madinah. Ikut dengan sang majikan yang orang Arab, Surtina mengaku sangat senang dan serius dengan pekerjaannya.
Selain berdagang kurma adalah pengalaman pertama bagi pria berusia 37 tahun ini, berada di Madinah membuat semangat ibadah Surtina makin memuncak.
“Saya bisa ke sini (Masjid Quba) kapan saja. Mudah-mudahan shalat saya diterima, jadi saya bisa mendapatkan pahala seperti orang umrah. Kalau saya di Cirebon saja kan mana mungkin bisa umrah setiap hari,” katanya, sedikit berkelakar.