REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Panggilan untuk bertamu ke Baitullah bisa datang kepada siapa pun yang dikehendaki Allah SWT. ''Anda tidak akan berhaji tanpa bantuan Allah berupa nikmat rububiyah,'' ujar Prof Mutawalli Asy Sayrawi dalam bukunya Rahasia Haji Mabrur.
Djumadi (50 tahun) seorang abdi dalem di Kesultanan Cirebon, tak menyangka bisa menunaikan rukun kelima itu tahun ini. ''Alhamdulillah. Saya bersyukur sekali, istri tadinya nggak percaya kalau saya bisa naik haji,'' ujarnya semringah.
Betapa tidak. Djumadi bukanlah orang berpunya. Sejak muda, pekerjaannya tidak memungkinkannya bisa menabung untuk menunaikan haji ke Tanah Suci. Ia mengaku, pernah bekerja sebagai loper koran selama 22 tahun. Namun, ia terpaksa berhenti karena pendapatannya dari menjual koran mulai menyusut.
Setelah itu, ia berganti peruntungan sebagai pedagang susu kemasan keliling selama lima tahun. Namun, karena penghasilan tidak cukup, ia pun beralih menjadi pedagang cireng sejak setahun yang lalu.
Penghasilannya sebagai pedagang cireng juga tak seberapa. Dalam sehari, ia membeli sebanyak 250 hingga 300 biji cireng. Dengan modal seharga Rp 650 per biji, ia menjual cireng seharga Rp 1.000 dan menghasilkan omzet sekitar Rp 105 ribu per hari.
Dari segitu, Rp 40 ribu buat minyak goreng, kertas koran buat bungkus cireng, sama saus. ''Keuntungan bersihnya saya bagi buat uang dapur 30 ribu, buat dua anak saya 20 ribu, sisanya 15 ribu saya pegang. Alhamdulillah, ketutup buat sehari-hari, istri saya juga masih bisa nabung 10 ribu,'' tutur Djumadi.
Meski secara ekonomi tak memungkinkan untuk menunaikan haji, Sang Khalik memiliki banyak cara untuk mengundang hamba-Nya yang dikehendaki untuk bisa bertamu ke Baitullah. Djumadi sungguh beruntung. Ia bisa menunaikan haji lewat jalur tenaga pendamping haji daerah (TPHD) Kloter 47 Kota Cirebon.
Semua itu berawal ketika Djumadi mendapatkan tawaran untuk menjadi imam di langgar Kesultanan Cirebon. Salah seorang temannya, Agus, menawarkannya untuk menjadi imam shalat Tarawih saat Ramadhan lima tahun yang lalu.
Mendapat tawaran mulia itu, Djumadi pun menyanggupinya. ''Insya Allah, saya sanggup. Terus, mungkin beliau (Sultan) merasa cocok, akhirnya tiap tahun saya di sana. Lalu, saya diangkat jadi abdi dalem pas tahun ketiga,'' tutur suami dari Fatimah (45 tahun) ini semringah.