Selasa 09 Aug 2016 16:24 WIB

Makkah Inspirasi Kebangkitan Pesantren di Nusantara

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Perjalanan kafilah rombongan jamaah haji meninggalkan kota Makkah menuju padang Arafah pada tahun 1935.
Foto: Gahetna.nl
Perjalanan kafilah rombongan jamaah haji meninggalkan kota Makkah menuju padang Arafah pada tahun 1935.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haji di masa kolonial boleh dikatakan menjadi semacam inspirasi untuk berkarya bagi para tokoh agama Islam. KH. Muhammadun yang sepulangnya dari Makkah berganti nama menjadi Ma’shum mengaku setelah melaksanakan haji ia menemukan dunianya yang mengantarkannya menjadi ulama besar. Kegiatan mendidik santri yang telah ditekuninya selama 54 tahun inilah dunianya.

Sepulangnya dari Makkah, KH. Ma’shum ibarat mengalami lonjakan spiritual yang semakin menambah santun sikapnya dan tinggi derajat kealimannya sehinga menjadi salah satu ulama kondang Nusantara. Banyak juga tokoh pejuang tanah air yang menjadikan Makkah bukan hanya sebagai tujuan haji, melainkan juga tempat menimba ilmu.

Sejarah mencatat pada 1892, KH. Hasyim Asyari pendiri NU yang dikenal sebagai bapak kaum santri, beserta istrinya menunaikan ibadah haji. Setelah berhaji, Kyai Hasyim memilih menetap di Makkah guna memperdalam ilmu agama. Di Makkah Kyai Hasyim berguru kepada Syekh Mahfudz at-Termasi, ulama ahli hadits asal Termas, Pacitan, Jawa Timur.

Guru lainnya adalah syekh Ahmad Khatib Minangkabau, yang saat it dikenal sebagai guru besar di Makkah dan menjadi salah seorang imam di Masjidil Haram untuk penganut Mazhab Syafi’i. Lain halnya dengan cerita Rusydi, seorang santri asal Cirebon yang mendapat kesempatan berhaji di usia yang relatif  muda. Izin pemerintah kolonial yang terkenal sulit mampu ditembusnya berkat kewibawaan Kyai Ali, ayahnya.

Sewaktu di Madinah ia terlibat debat kusir dengan orang Yaman perihal ilmu Nahwu-Sharaf. Dengan berbagai argumen yang berasal dari Kitab Alfiyyah, kitab Nahwu paling otoritatif, perdebatan itu dimenangkan oleh Rusydi. Orang Yaman itu meminta Rusydi untuk mengajar di Madinah, namun dengan santun Rusydi menolaknya.

Sepulangnya dari Makkah, Rusydi semakin giat mengkaji Alfiyah hingga menghafal dan memahami secara tuntas seribu bait syair Alfiyyah. Keistimewaan inilah yang mengantarkannya sebagai ulama besar yang kemudian hari dirinya bermukim di Lirboyo. Rusydi muda itu dikemudian hari dikenal sebagai KH. Mahrus Ali, ulama kenamaan NU asal Lirboyo, Kediri.

Memasuki era 1940-an kedatangan pasukan Jepang awalnya menjadi semacam mukjizat bagi bangsa Indonesia. Dengan semboyan ‘Tiga A’ (Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang pemimpin Asia), publik di Tanah Air berharap banyak agar Jepang dapat mengakhiri penjajahan Belanda. Namun, harapan tersebut agaknya menemui jalan buntu, Jepang dengan segera melancarkan kekejaman militer yang semakin menyengsarakan rakyat.

Pergantian kekuasaan antara Belanda dan Jepang, tidak terlalu berdampak signifikan dalam bidang penyelenggaraan Haji. Jepang tetap melanggengkan kebijakan yang sebelumnya dijalankan oleh Hindia Belanda. Diantaranya berdasarkan aturan Peralihan Undang Undang Bala Tentara Jepang no. 1 tahun 1942 yang berbunyi, “Semua undang-undang dan peratran-peraturan lain yang berasal dari pemerintah Hindia-Belanda dahulu tetap berlaku, selama peraturan itu tidak bertentangan denganperaturan Bala Tentara Dai Nippon.”

Laiknya pemerintah kolonial Belanda, Jepang sangat khawatir dengan ideologi perang jihad dan pan-Islamisme yang marak disuarakan oleh para haji-haji dan pemimpin agama. Namun, pada akhirnya, Jepang pun membiarkan perkembangan paham tersebut. Belakangan, paham jihad Islam dialokasikan Jepang sebagai pelecut semangat saat menghadapi Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik dengan Amerika Serikat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement