Ahad 12 Feb 2017 15:29 WIB

Umrah Murah tak Selalu Jelek, Umrah Mahal tak Selalu Bagus

Kasubdit Pembinaan Haji dan Umroh Kemenag M Arfi Hatim (kiri) bersama Direktur Pengkajian dan Kebijakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Taufik Ahmad menjadi narasumber saat silaturahim bulanan IITCF di Jakarta, Sabtu (11/2). Silaturahim bulanan itu membahas fenomena umrah murah.
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Kasubdit Pembinaan Haji dan Umroh Kemenag M Arfi Hatim (kiri) bersama Direktur Pengkajian dan Kebijakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Taufik Ahmad menjadi narasumber saat silaturahim bulanan IITCF di Jakarta, Sabtu (11/2). Silaturahim bulanan itu membahas fenomena umrah murah.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena perlombaan perang tarif atau umrah murah  yang dilakukan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) belakangan ini oleh banyak pihak dianggap cukup mengkhawatirkan. “Hal itu  karena sangat berpotensi merugikan jamaah umrah,” kata Kasubdit Pembinaan Umrah Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama M Arfi Hatim dalam talk show bertema “Fenomena Umrah Murah, Kualitas dan Risiko terhadap Jamaah” yang diadakan Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF) di Hotel Ibis Cawang, Jakarta, Sabtu (11/2/2017).

Arfi mengemukakan, pihak-pihak yang meragukan dan mengkhawatirkan umrah mura beranggapan bahwa harga yang murah tidaklah rasional dan pasti dikarenakan adanya sesuatu yang salah. Apakah itu yang salah motifnya (penipuan) atau caranya (memanipulasi).

 

Hal ini, kata Arfi,  karena berdasarkan hitungan-hitungan yang standar dan konvensional, komponen biaya perjalanan ibadah umrah tidak mungkin terpenuhi dengan harga yang ‘murah’. “Sederhanyanya, semakin murah harga suatu barang/jasa, maka semakin berkuranglah kualitas barang atau jasa,” tuturnya.

Namun di sisi lain, Arfi menambahkan, fenomena umrah murah juga memiliki nilai positif.  Ibadah umrah menjadi lebih terjangkau, yang artinya membuka kesempatan bagi semakin banyak anggota masyarakat untuk dapat menunaikan ibadah umrah.

Salah satu hak konsumen adalah mendapatkan harga yang kompetitif dan ekonomis. “Maka kehadiran umrah murah jelas memenuhi aspek ini. Artinya, semakin terjangkau harga suatu barang/jasa, maka semakin baik bagi masyarakat,” ujar Arfi.

Lalu mana yang benar? Benarkah konsumen terancam saat membayar murah? Apakah harga yang mahal identik dengan kualitas barang/jasa yang baik? Dan kenapa sampai dengan saat ini pemerintah tidak menetapkan harga minimal?

Menurut Arfi, umrah murah tidak identik pelayanannya jelek. Sebaliknya, umrah mahal tidak identik pelayanannya baik. “Logika umum bahwa semakin mahal suatu barang/jasa berarti semakin berkualitas bukanlah sebuah kebenaran yang pasti,” tuturnya.

Yang benar adalah barang/jasa menjadi bernilai karena sifatnya yang unik, tidak adanya kompetitor. “Ketika terdapat kompetitor maka otomatis akan terjadi kompetisi yang berujung pada penurunan harga,” kata Arfi.

Tanpa kompetitor, kata Arfi,  barang/jasa yang ‘biasa saja’ akan dimanfaatkan oleh penyedia barang/jasa untuk menaikkan daya jual mereka, sebagaimana halnya monopoli, untuk mendapatkan keuntungan yang berlebih. “Celakanya, ini tidak selalu diimbangi dengan kualitas barang/jasa yang baik. Bahkan masyarakat menjadi tertutup peluangnya untuk mendapatkan harga yang murah,” papar Arfi.

Inilah, kata Arfi,  yang menjadi alasan kenapa sampai dengan saat ini pemerintah tidak mengeluarkan harga minimal. Karena perhatian utama pemerintah bukanlah nominal harga, tetapi kualitas.

 

“Berkaca pada kasus standardisasi harga tiket transportasi, yang sejatinya bertujuan untuk melindungi konsumen, namun yang terjadi adalah harga tidak turun sementara kualitas justru turun. Satu-satunya yang naik adalah keuntungan perusahaan yang menjual dengan mengurangi kualitas tanpa mengurangi biaya,” ujar Arfi Hatim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement