IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memiliki kewenangan mengelola dana haji, termasuk jika dana tersebut digunakan untuk keperluan investasi. Sesuai Undang-Undang No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, BPKH berwenang menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji sesuai prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat.
Pemilihan badan pelaksana dan dewan pengawas BPKH sendiri pun sudah mendekati final, tinggal menunggu surat keputusan (SK) dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Meski memiliki kewenangan mengelola dana haji, BPKH juga akan dievaluasi secara bertahap dalam rangka mengamankan aset umat yang saat ini mencapai Rp 93 triliun.
"Dari dana Rp 93 triliun yang mereka kelola itu, berapa persen yang bisa diinvestasikan, harus progresif karena menyangkut keamanan uang umat," kata Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Parasong kepada Republika.co.id, Rabu (3/5).
Progresif yang dimaksud yakni dalam mengelola dana haji, BPKH harus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Salah satu caranya, kata Ali, dengan menginvestasikan dana haji pada sektor yang memberikan manfaat kepada umat sehingga mereka merasa aman dan merasakan imbas keuntungan dari investasi tersebut.
Dalam pasal 48 UU No 34 Tahun 2014 disebutkan bahwa penempatan investasi dana haji dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya. Penempatan tersebut harus dilakukan sesuai prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.
Usulan penempatan investasi dilakukan oleh badan pelaksana BPKH dan harus mendapat persetujuan dari badan pengawas. Hal ini sesuai dengan pasal 49 UU tersebut. Ali mengatakan, meski badan pengawas lebih banyak ke urusan pengawasan, namun oleh UU mereka diberi otoritas untuk menentukan penempatan investasi dana haji. "Kedudukan dewan pengawas sangat strategis bagi pengembangan dan penguatan investasi dana haji," ujarnya.