Jumat 26 May 2017 08:13 WIB

Nasib Demokrasi, Kekhidmatan Tanah Kusir, Hingga Bung Hatta Naik Haji

Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.
Foto: Gahetna.nl
Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.

"Khidmad." Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan nuansa yang tercipta ketika mengunjungi kompleks makam Bung Hatta (lengkapnya Mohammad Athar/Hatta). Ingar-bingar jalan Tanah Kusir yang sepanjang waktu selalu ramai dan di siang hari hingga malam selalu macet, tak berpengaruh pada situasi area makam yang berada di tengah kompleks kuburan rakyat biasa itu.

"Bung Hatta berpesan agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bila meninggal, beliau ingin dimakamkam di kuburan biasa. Alasannya agar selalu dekat dengan rakyat," begitu kalimat penyiar TVRI ketika menyiarkan secara langsung upacara pemakaman sang Proklamator pada awal tahun 1980 (14 Maret 1989). Kala itu, media massa baik radio maupun cetak pun ikut memberitakan wasiat Bung Hatta ini.

Dan kenangan ini melekat kuat, karena pada saat itu banyak orang tua dan dewasa yang menangis ketika menonton siaran televisi tersebut. Di layar televisi hitam putih yang pasokan daya listriknya masih memakai aki bekas truk, terlihat tayangan kerumunan masa yang berjajar di tepi jalanan, mengular dari pusat ibu Kota hingga ke arah jalan pemakaman umum Tanah Kusir yang saat itu tempatnya bisa dikatakan berada di pinggiran Jakarta. Selama sepekan, pemerintah Indonesia menyatakan masa berduka dan bendera dikibarkan setengah tiang.

Nah, keharuan yang sama pun segera menyergap saat kemarin sore mendatangi permakaman itu. Dibandingkan dengan suasana pemakaman pasangan proklamatornya Bung Karno di Blitar, tak ada keriuhan yang terdengar di area makam cucu ulama besar Nagari Minangkabau, yakni Syekh Abdurrahman atau Syekh Batu Hampar, itu . Tak ada kerumunan peziarah, atau pasar suvenir yang ramai menjual aneka pernak-pernik barang kerajinan tangan yang mengesankan mengultuskannya

Selain itu, tak ada penjagaan yang ketat. Situasi ini jangan dibandingkan dengan kompleks mausoleum Ho Chi Minh di Hanoi, Vietnam, atau makam filsuf sekaligus Bapak Bangsa Pakistan M Iqbal di Lahore. Di dua makam orang penting tersebut, penjagaan luar biasa ketat.

Di makam Iqbal yang lokasinya berada di dalam benteng kuno dan di samping Masjid Badhsahi peninggalan Kesultanan Mughal India, area makamnya dijaga selama 24 jam oleh tentara bersenjata dan berseragam lengkap. Yang akan masuk ke makam harus berbaris dan satu per satu berdoa di pinggir makam. Di atas pusara Iqbal selalu diletakkan seikat kembang. Dan di batu nisan tertulis: Makam pemikir besar maulana M Iqbal.

Namun, hal itu tak ditemui pada makam Bung Hatta yang bersisian dengan makam sang istri tercinta, Ibu Rachmi Hatta. Penjagaan terasa longgar dan pada siang hari kompleks makam selalu terbuka untuk dikunjungi.

Sedangkan, di atas nisan hanya tertulis kalimat pendek namanya, lengkap dengan gelar haji dan kesarjanaannya. Dan di bawah tulisan itu tertulis kata "proklamator dan wakil presiden Indonesia". Di jendela kaca yang ada di bagian belakang makam hanya tergores tulisan kaligrafi bergaya kufi.

Pada waktu kemarin sore (25/5), ada seikat kembang yang ditaruh di atas nisan. Taburan bunga berwarna merah dan putih juga ikut terlihat di sana. Dan bila melihat kondisi kelopak bunganya yang masih segar, maka dipastikan bunga itu belum terlalu lama ditaburkan.

Tampaknya, pemilihan lokasi makam di "tempat biasa" atau bukan taman makam pahlawan memang tepat. Bung Hatta paham kalau makamnya berada di tempat khusus maka rakyat biasa akan susah menziarahinya.

Kesederhanaan itulah yang membuat batin rakyat biasa terasa mantap dan khidmat ketika memanjatkan doa, membacakan surah al-Fatihah, atau sekadar menabur bunga di atas pusaranya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement